Senin, 08 Februari 2010

Sekali Lagi Tentang Pemakzulan Presiden

Sebagaimana dilansir oleh berbagai media massa, pemerintah melalui Menteri Hukum dan HAM RI, Patrialis Akbar, di Istana Presiden Cipanas, tanggal 2-2-2010 menyatakan ada empat alasan atau prinsip presiden tidak bisa dimakzulkan. Empat prinsip dimaksud adalah : Pertama, prinsip dasar dalam sistem presidensil, presiden itu tak bisa dijatuhkan di tengah jalan, karena dia dipilih melalui pemilihan umum. Prinsip kedua, fixed term 5 tahun masa jabatan presiden dijamin, tak boleh diganggu dengan alasan politik apapun. Ini konsekuensi sistem presidensial. Prinsip ketiga, presiden adalah sebagai lambang negara. Bahkan dalam NKRI presiden lambang negara kesatuan, jadi tak hanya sebagai kepala pemerintahan, tapi lambang negara. Oleh karena itu tak mudah bahkan dipersulit konstitusi untuk menjatuhkan presiden dan wapres. Prinsip keempat, dalam negara kita hukum sebagai primadona, hukum bisa membatalkan putusan demokrasi, apabila putusan demokrasi bertentangan dengan konstitusi,
Memerhatikan secara seksama pernyataan di atas,  terasa ada yang menggelitik dan mengganjal dalam perspektif akademik, karena pernyataan tsb kental dan menonjol nuansa pembelaan, bahkan dalam skala tertentu dapat menyesatkan (misleading) pola pikir masyarakat tentang pranata impeachment atau pemakzulan Presiden dan atau Wakil Presiden, jika tidak diluruskan atau dielaborasi lebih lanjut.
Menurut saya, setidak-tidaknya ada empat alasan mendasar mengapa pernyataan tersebut tidak tepat dalam perspektif akademik :
Pertama, alasan historis. Jika ditilik sejarah pengaturan pranata impeachment dalam perubahan ketiga UUD 1945 yang dibidani Panitia Ac Hoc I Badan Pekerja MPR telah menyepakati dan menegaskan sistem pemerintahan presidensial yang bercirikan (1) adanya masa jabatan presiden yang bersifat tetap (fixed term) ; (2) presiden sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan; (3)adanya mekanisme saling mengawasi dan mengimbangi (checks and balances), dan (4) adanya mekanisme impeachment (vide: Panduan Dalam Memasyarakatkan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia: Latar Belakang, Proses Dan Hasil Perubahan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Sekretariat Jenderal  MPR RI, Jakarta, 2003, hlm 156).
Dalam sistem pemerintahan presidensial,  impeachment merupakan exceptional clause  terhadap masa jabatan Presiden dan /atau Wakil Presiden yang bersifat tetap (fixed term ). Artinya, pasangan Presiden dan Wakil Presiden terpilih tidak dapat diberhentikan dalam masa jabatannya, sebab mereka dipilih langsung oleh rakyat, terkecuali Presiden dan /atau Wakil Presiden terbukti telah melanggar hukum berdasarkan alasan dan prosedur yang tercantum dalam konstitusi.
Kedua, pijakan teoritis. Secara sederhana karateristik pemerintahan presidensial sebagaimana dikutip Denny Indrayana dari pendapat Alan R. Ball dan B. Guy Peters adalah : (1) Presiden adalah sebagai kepala negara dan sekaligus kepala pemerintahan ; (2) Presiden tidak dipilih oleh parlemen, tetapi langsung dipilih oleh rakyat (popular elected); (3) Presiden bukan bagian dari parlemen, dan tidak dapat diberhentikan oleh parlemen, kecuali melalui proses pamakzulan (impeachment); dan (4) Presiden tidak dapat membubarkan parlemen. (Denny Indrayana: 2008;198)  
Dari pendapat Alan R. Ball dan B. Guy Peters, dalam sistem pemerintahan presidensial , meskipun presiden dipilih langsung oleh rakyat, akan tetapi tetap dapat diberhentikan oleh parlemen dengan mekanisme pamakzulan (impeachment).
Dalam konteks sistem pemerintahan yang dianut UUD 1945 pasca perubahan,  juga mengandung karakter presidensial dimaksud. Sehingga meskipun Presiden dan Wapres dipilih  secara langsung oleh rakyat (popular elected) , akan tetapi tetap dapat diberhentikan di tengah masa jabatannya, melalui mekanisme impeachment. Hal ini berbeda dengan karakter parlementer ,  sebagaimana dideskripsikan Alan R. Ball dan B. Guy Peters bahwa  cabang kekuasaan eksekutif dipimpin seorang perdana menteri atau kanselir,  yang bersama-sama kabinet adalah bagian dari parlemen,  dipilih oleh parlemen dan setiap saat dapat diperhentikan oleh parlemen dengan mosi tidak percaya.
Ketiga, landasan filosofis. Di samping sebagai konsekuensi logis dari dianutnya sistem pemerintahan presidensial, pengaturan tentang pemberhentian Presiden dan /atau Wakil Presiden dalam UUD 1945 Perubahan Ketiga, juga sebagai konsekuensi dianutnya ajaran pemisahan kekuasaan dengan mekanisme checks and balances system. UUD 1945 pasca perubahan, menciptakan pola hubungan fungsional horisontal antara lembaga-lembaga negara, bukan  dalam hubungan struktural-vertikal. Kedudukan MPR, sejajar dengan lembaga negara yang lain seperti DPR, Presiden, MA, MK, dan BPK, dengan kewajiban saling mengawasi secara berkeseimbangan satu sama lain (checks and balances). Bentuk penerapan dari prinsip checks and balances yaitu adanya  mekanisme pemberhentian Presiden dan /atau Wakil Presiden di tengah jalan (pemakzulan). Sejatinya, Impeachment didesain sebagai instrumen untuk “menegur” perbuatan menyimpang, penyalahgunaan dan pelanggaran terhadap konstitusi oleh orang yang memegang jabatan publik, dalam hal ini termasuk Presiden dan /atau Wakil Presiden. Yang bisa saja berujung dengan pergantian presiden (presidential removal) atau presiden tetap dalam jabatan (presidential survival).
Keempat , dasar yuridis. sebagai konsekuensi logis dari dianutnya sistem pemerintahan presidensial, maka di dalam UUD 1945 diaturlah tentang alasan dan prosedur pemberhentian Presiden dan /atau Wakil Presiden dalam pasal 3 ayat 3, pasa1 7A, dan 7B . Pasal  3 ayat 3  menetapkan MPR dapat memberhentikan Presiden dan /atau Wakil Presiden dalam masa jabatan menurut UUD 1945. Pasal 7A menyebut enam alasan presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatan yaitu melakukan pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, melakukan perbuatan tercela atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden
Pasal 7B pada pokoknya mengatur  proses pemakzulan presiden dan /atau Wakil presiden berada di  tiga lembaga negara secara  berkesinambungan yaitu : proses impeachment di DPR RI, proses impeachment di MK dan proses impeachment di MPR;
Mengingat pasal 7 B  berkaitan dengan mekanisme pemakzulan  masih bersifat umum dan pokok-pokoknya saja, maka perlu pengaturan lebih lanjut secara lengkap dan rinci bagaimana syarat dan proses impeachment di DPR, syarat dan proses Impeachment di MK serta  bagaimana syarat dan proses impeachment di MPR. Untuk keperluan tersebut, terdapat UU No 27 tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD , khususnya pasal 184-188,  Undang Undang Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, terutama pasal 80-85, Tatib DPR RI , Tatib MPR RI dan  Peratuan MK  No. 21 tahun 2009 tentang Pedoman Beracara Dalam Memutus Pendapat DPR Mengenai Dugaan Pelanggaran oleh Presiden dan /atau Wapres, sebagai peraturan pelaksanaan hukum acara pemakzulan presiden dan /atau wapres .
Dengan demikian, pernyataan Menteri Hukum dan HAM RI, Patrialis Akbar bahwa presiden tidak bisa dimakzulkan karena alasan dipilih melalui pemilihan umum dan adanya fixed term 5 (lima)  tahun masa jabatan presiden , tidak memiliki alasan historis yang rasional, pijakan teoritis yang memadai, landasan filosofis yang cukup dan dasar hukum yang kuat .
Sebagai penutup perlu direnungkan apa yang dikatakan Mahatma Gandhi bahwa : “akar kekerasan adalah kemewahan tanpa bekerja, kesenangan tanpa hati  nurani, perdagangan tanpa moralitas, sains tanpa humanitas, penyembahan tanpa pengorbanan,politik tanpa prinsip nilai, ilmu tanpa kepribadian,”

Kandidat Doktor Ilmu Hukum Univ. Brawijaya Malang
Menulis Disertasi tentang Impeachment Presiden
HP : 081-2352-9300.




















































Sabtu, 06 Februari 2010