Rabu, 30 Juni 2010

Pembubaran Satgas Pemberantasan Mafia Hukum

AKSI gebrakan Pemerintahan Susilo Bambang Yudhyono (SBY) dalam pemberantasan mafia hukum melalui Pembentukan Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum, agaknya akan mendapat ujian yang tidak ringan. Bahkan, tidak mustahil akan mengalami nasib yang sama seperti Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGP-TPK) di masa Presiden KH Abdurrahman Wahid. Dibubarkan setelah dilakukan judicial review ke Mahkamah Agung (MA).
Mengapa ? Sebab,  aktivis Petisi 28 pada hari Selasa, tanggal 22/6/2010  telah mengajukan permohonan  judicial review terhadap Kepres No.37 tahun 2009 tentang  Satuan Tugas Pemberantasan  Mafia Hukum (disingkat Satgas Mafia Hukum) ke MA.  Dengan alasan Pembentukan Kepres tersebut bertentangan atau tidak selaras dengan ketentuan pasal 4 (1) UUD 1945. Sehingga Presiden tidak memiliki kewenangan untuk membentuk Satgas Mafia Hukum tersebut.
Di samping alasan yuridis tersebut, secara sosiologis kinerja Satgas Mafia Hukum, patut dipertanyakan? Karena,  selama ini  kinerja Satgas dinilai cenderung bersifat diskriminatif, tebang pilih,  laksana pisau tajam untuk kasus di luar istana, tapi tumpul untuk kasus dalam istana. Satgas juga diduga bisa mengakses data PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan) , yang mestinya hanya bisa diminta oleh lembaga penegak hukum.  
Satgas juga dinilai cenderung bersifat intervensif terhadap kinerja penegak hukum yang lain ;  kepolisian, kejaksaan,  dan KPK, terutama dalam kasus-kasus besar.  Malahan, secara politis Satgas dianggap hanya sebagai proyek pencitraan Presiden SBY, yang menunjukkan seolah-olah SBY telah bekerja menegakkan hukum dan memberantas korupsi atau mafia hukum.
Namun demikian , ada sementara pihak, misalnya Moh. Mahfud MD, Ketua Mahkamah Konstitusi, mengatakan pengajuan judicial review Kepres 37/2009 oleh aktivis Petisi 28 ke MA adalah tidak jelas (abscuur libel) dan salah alamat. Dalam pandangan Mahfud, Kepres tentang Satgas Mafia Hukum tidak masalah, baik secara substansi maupun bentuknya. Kepres tersebut tidak bisa diuji melalui MA, namun seharusnya melalui Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Karena Kepres tersebut , merupakan  keputusan presiden (beleid) yang bersifat individual, konkret dan final (beschikking). Itupun harus diajukan oleh pihak-pihak yang dirugikan secara langsung oleh keberadaan Satgas Mafia Hukum tersebut.
Menurut Mahfud,  peran Satgas Mafia Hukum sangat membantu bagi pemberantasan korupsi dan mafia hukum. Banyak kasus terungkap dan didorong penyelesaiannya melalui jalur resmi oleh Satgas . Contohnya, terungkapnya kasus sel mewah yang dihuni terpidana Artalyta Suryani alias Ayin, kasus suap terhadap jaksa Urip Tri Gunawan,  dan kasus mafia pajak Gayus Tambunan. (Berita Suara Media, 21/6/2010).
Untuk menguji eksistensi, peran, dan efektifitas kinerja dari suatu lembaga hukum, semisal Satgas Mafia Hukum, sekurang-kurangnya  terdapat dua tolok-ukur yang relevan  untuk dipergunakan yaitu   dari aspek keabsahan hukum (rechtmatigheid) dan aspek kemanfaatan (doelmatigheid). Yaitu, keabsahan hukum atas keberadaan Satgas Mafia Hukum yang dibentuk berdasarkan Kepres 37/2009 dan kemanfaatan atas kehadiran/kinerja Satgas dalam menjalankan peran, tugas dan wewenangnya selama ini.
   
Keabsahan Satgas Mafia Hukum
Patut diketahui ,maksud dan tujuan Petisi 28 mengajukan judicial review Kepres 37/2009 ke MA, adalah untuk menguji apakah keberadaan Satgas Mafia Hukum memiliki legalitas atau keabsahan hukum? Untuk itu, terdapat dua hal penting yang perlu dianalisis berkaitan proses permohonan judicial review ke MA , yaitu tentang obyek judicial review dan subyek pemohon.
Perlu dicatat, obyek judicial review di sini adalah Kepres No.37 tahun 2009. Permasalahannya, apakah Kepres tersebut termasuk dalam kualifikasi sebagai regeling (peraturan perundang-undangan), yang  rumusan  normanya bersifat umum dan abstrak (general and abstract norms)? Karena, secara normatif obyek dari suatu judicial review adalah Peraturan Perundang-undangan di bawah Undang Undang terhadap Undang Undang (Pasal 11 ayat 2 huruf b UU No. 4/2004). Antara lain meliputi Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Daerah Propinsi , Peraturan Daerah Kabupaten/Kota dan Peraturan Desa (pasal 7 UU No.10/2004). Lalu, di mana letak Kepres No. 37/2009?
Memang, bila ditelaah dari segi bentuk dan penamaan, Kepres 37/2009 secara kasat jelas bukan termasuk  peraturan perundang-undangan(regeling) seperti diatur pasal 7 UU No.10/2004 . Akan tetapi,  lebih mendekati atau  termasuk dalam kualifikasi sebagai keputusan (beschikking). Karena  rumusan normanya bersifat individual, konkret dan final (individual, concrete, and final norms). Artinya, dalam Kepres disebutkan secara konkret masing-masing individu yang menjadi anggota Satgas Mafia Hukum, dan mempunyai kekuatan mengikat sejak tanggal ditetapkan (final). Dengan demikian, dari aspek bentuk dan penamaan, Kepres tersebut memiliki karakteristik dari sebuah keputusan (beschikking).
Namun, apabila dianalisis lebih jauh, substansi atau materi muatan Kepres tersebut, menurut hemat penulis dapat dimasukkan peraturan perundang-undangan (regeling). Sebab, jika dicermati rumusan  tugas dan wewenang Satgas Mafia Hukum. Yakni melakukan koordinasi, evaluasi, koreksi, pemantauan , penelaahan dan penelitian agar pemberantasan mafia hukum lebih efektif. Maka, rumusan normanya bersifat umum dan abstrak. Yang berarti, Kepres tersebut memiliki karakteristik sebagai peraturan perundang-undangan (regeling) dari aspek substantif.
Dalam proses pengujian Kepres No. 37/2009, taruhlah  majelis hakim MA yang memeriksa judicial review sependapat dengan penulis, Kepres tsb termasuk dalam kualifikasi Peraturan Perundang-undangan (regeling). Maka, selanjutnya yang perlu diuji :  apakah Kepres tsb secara substantif telah sesuai dengan UU  atau sebaliknya?
Perlu disadari , untuk kepentingan judicial review  terhadap suatu Kepres  (peraturan perundang-undangan di bawah UU) , dasar pengujiannya (toetsingsgronden) yang dipergunakan oleh majelis hakim adalah Undang-Undang. Misalnya UU Kepolisian, UU Kejaksaan, UU KPK , UU Komisi Yudial, UU Ombudsman, UU PPATK, dan sebagainya . Artinya, apakah Kepres tsb dari segi isi atau materinya bertentangan dengan salah satu atau beberapa Undang Undang dimaksud? Jadi,  batu uji keabsahan Kepres tsb  adalah UU, bukan Undang Undang Dasar 1945  pasal 4 ayat 1, sebagaimana yang dikemukakan Aktivis Petisi 28 pada awal tulisan ini.
Sebaliknya, andaikan majelis hakim tidak sepakat dengan pandangan penulis, bahwa materi muatan Kepres No. 37/2009 adalah termasuk kategori peraturan perundang-undangan (regeling) . Dan hakim perpendapat lain,  Kepres tersebut termasuk kategori keputusan (beschikking). Maka, permohonan judicial review tentunya akan dinyatakan tidak diterima. Dengan alasan majelis hakim tidak berwenang mengadili perkara tersebut . Karena sepatutnya,  yang berwenang mengadili adalah hakim PTUN. Dalam konteks inilah, pihak yang mengatakan gugatan Kepres 37/2009 lebih tepat diajukan ke PTUN mendapatkan pijakan normatif .
Subyek pemohon judicial review, haruslah memiliki kedudukan hukum(legal standing) sebagai pemohon yang dipersyaratkan oleh Undang Undang . Yaitu pihak yang benar-benar dirugikan oleh berlakunya Kepres Satgas Mafia Hukum tersebut, dan memiliki  kapasitas bertindak entah sebagai perorangan, kesatuan masyarakat adat, badan hukum publik atau badan hukum privat (pasal 31A  UU N0. 3/2009).
Pertanyaannya, apakah Petisi 28 sebagai gabungan berbagai elemen masyarakat atau LSM yang berjumlah 28 buah  memiliki legal standing yang dipersyaratkan tersebut? Untuk keperluan tersebut,  yang harus dibuktikan,  pertama adalah apakah Petisi 28 itu bertindak sebagai orang perorangan, kesatuan masyarakat adat, badan hukum publik atau badan hukum privat? Kedua, yang harus dibuktikan , apakah betul bahwa Petisi 28 adalah pihak yang benar-benar dirugikan secara aktual oleh berlakunya Kepres Satgas Mafia Hukum tersebut.
Karena , ada sementara kalangan yang berpandangan bahwa aparat penegak hukum seperti Kepolisian, Kejaksaan, KPK, Komisi Yudisial, dan Komisi Ombudsman-lah, yang sesungguhnya memiliki legal standing untuk mengajukan judicial review. Jika memang benar,  keberadaan dan kinerjaSatgas Mafia Hukum dianggap telah mengintervensi kinerja aparat penegak hukum tersebut. Sehingga secara de facto kepentingan hukum aparat penegak hukum tersebut dirugikan.
Memproyeksi kemungkinan judicial review Kepres No. 37/2009 dikabulkan oleh MA,  menurut pandangan  penulis tidaklah mudah. Terkecuali jika kuasa hukum pemohon, dapat membuktikan secara sah dan meyakinkan bahwa Kepres tsb bertentangan dengan satu atau beberapa UU yang telah disebutkan di atas.
Di samping itu , kuasa hukum pemohon juga mampu membuktikan,bahwa Petisi 28 adalah sebagai pihak yang memiliki legal standing. Yakni, sebagai pihak yang secara de facto dirugikan kepentingan hukumnya,  akibat dikeluarkannya Kepres No. 37/2009 tersebut. Bila tidak, hal ini harus dipandang  sebagai  “warning alarm” untuk mendongkrak eksistensi dan peran  Satgas Mafia Hukum di tengah-tengah konstelasi dan kompetisi optimalisasi peran aparat penegak hukum dalam pemberantasan korupsi atau mafia hukum.
Satgas Mafia Hukum, bermanfaatkah?
Untuk menguji efektifitas eksistensi dari Satgas Mafia Hukum adalah dari aspek kemanfaatan (doelmatigheid). Aspek ini perlu dikemukakan, karena  menurut pendapat Logemann :  “suatu kaidah hukum mengikat apabila menunjukkan hubungan keharusan antara suatu kondisi dengan akibatnya”. Artinya, dari aspek historis,  kelahiran Satgas Mafia Hukum adalah merupakan suatu keharusan antara kondisi maraknya mafia hukum yang sangat kronis dan menggurita di seantero nusantara .Sehingga mengakibatkan penegakan hukum dalam semua lini dan level tidak dapat berjalan efektif, terutama pemberantasan korupsi dan mafia peradilan. Maka,  dengan demikian,  dipandang penting dan perlu dibentuk Satuan Tugas Pemberantasan  Mafia Hukum oleh Presiden SBY.
Dalam pandangan teori tujuan hukum, Jeremy Bentham mengintroduksi teori utilitas yang berbunyi : “tujuan hukum adalah memberikan kebahagiaan /kemanfaatan yang sebesar-besarnya buat masyarakat sebanyaknya (the greatest happiness is the greatest number of people)”. Hukum (lembaga hukum) dianggap memiliki eksistensi, jika mempunyai kefaedahan secara sosial (sociale doelmatigheid). Apakah keberadaan Satgas Mafia Hukum ini memiliki manfaat atau faedah secara sosial buat kepentingan masyarakat, bangsa dan negara ?
Jika diamati dan diikuti secara seksama dari publikasi/pemberitaan  media massa dan pendapat berbagai kalangan, diketahui peran strategis Satgas Mafia Hukum adalah : (1) sangat membantu bagi pemberantasan korupsi dan  mafia hukum. Banyak kasus terungkap dan didorong penyelesaiannya melalui jalur resmi oleh Satgas . Contahnya, kasus Ayin, Urip Tri Gunawan dan Gayus ;  (2) membantu kepolisian, kejaksaan dan KPK memberikan informasi atas temuan mafia hukum  ; (3) dapat menjadi trigger bagi kepolisian, kejaksaan, KPK  dalam proses investigasi, dan (4) dapat membantu memecah kebuntuan (ice-breaker)  dalam penegakan hukum. Bahkan kini Satgas juga turut menangani maraknya mafia pertambangan di Kalimantan Timur yang sangat merusak kawasan hutan dan lingkungan hidup (Kompas, 24/6/2010).
Tetapi, jujur diakui  mengingat usia Satgas belum genap satu tahun adalah wajar kalau di sana-sini kinerjanya belum maksimal seperti yang diharapkan oleh mayoritas masyarakat Indonesia . Salah satunya, kegagalan memberikan perlindungan Hukum terhadap saksi pelapor Komjen Susno Duadji dalam kaitan kasus mafia pajak Gayus Tambunan. Karena memang disadari, Satgas Mafia Hukum kini sedang mencari bentuk yang pas sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan pemberantasan mafia hukum yang lebih efektif dan mujarab . sehingga perlu dilakukan evaluasi dan instrospeksi secara komprehensif, baik mengenai dasar hukum pembentukan, urgensi, dan kinerja Satgas Mafia Hukum selama ini.
Kendatipun demikian, jika kita boleh menimbang-nimbang keberadaan lembaga ad-hoc seperti Satgas Mafia Hukum. Untuk sementara,  menurut pandangan penulis  masih sangat penting, relevan dan berfaedah bagi kepentingan pemberantasan mafia hukum di Indonesia. Jika dibandingkan dengan kerugian masyarakat akibat adanya Satgas Mafia Hukum. Walaupun, masih bisa disoal, sebenarnya masyarakat yang mana yang dirugikan akibat adanya Satgas Mafia Hukum tsb? Wallahu’alam
Hufron, SH.,MH., 
Kandidat Doktor Ilmu Hukum Univ. Brawijaya
Malang