Rabu, 30 Juni 2010

Pembubaran Satgas Pemberantasan Mafia Hukum

AKSI gebrakan Pemerintahan Susilo Bambang Yudhyono (SBY) dalam pemberantasan mafia hukum melalui Pembentukan Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum, agaknya akan mendapat ujian yang tidak ringan. Bahkan, tidak mustahil akan mengalami nasib yang sama seperti Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGP-TPK) di masa Presiden KH Abdurrahman Wahid. Dibubarkan setelah dilakukan judicial review ke Mahkamah Agung (MA).
Mengapa ? Sebab,  aktivis Petisi 28 pada hari Selasa, tanggal 22/6/2010  telah mengajukan permohonan  judicial review terhadap Kepres No.37 tahun 2009 tentang  Satuan Tugas Pemberantasan  Mafia Hukum (disingkat Satgas Mafia Hukum) ke MA.  Dengan alasan Pembentukan Kepres tersebut bertentangan atau tidak selaras dengan ketentuan pasal 4 (1) UUD 1945. Sehingga Presiden tidak memiliki kewenangan untuk membentuk Satgas Mafia Hukum tersebut.
Di samping alasan yuridis tersebut, secara sosiologis kinerja Satgas Mafia Hukum, patut dipertanyakan? Karena,  selama ini  kinerja Satgas dinilai cenderung bersifat diskriminatif, tebang pilih,  laksana pisau tajam untuk kasus di luar istana, tapi tumpul untuk kasus dalam istana. Satgas juga diduga bisa mengakses data PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan) , yang mestinya hanya bisa diminta oleh lembaga penegak hukum.  
Satgas juga dinilai cenderung bersifat intervensif terhadap kinerja penegak hukum yang lain ;  kepolisian, kejaksaan,  dan KPK, terutama dalam kasus-kasus besar.  Malahan, secara politis Satgas dianggap hanya sebagai proyek pencitraan Presiden SBY, yang menunjukkan seolah-olah SBY telah bekerja menegakkan hukum dan memberantas korupsi atau mafia hukum.
Namun demikian , ada sementara pihak, misalnya Moh. Mahfud MD, Ketua Mahkamah Konstitusi, mengatakan pengajuan judicial review Kepres 37/2009 oleh aktivis Petisi 28 ke MA adalah tidak jelas (abscuur libel) dan salah alamat. Dalam pandangan Mahfud, Kepres tentang Satgas Mafia Hukum tidak masalah, baik secara substansi maupun bentuknya. Kepres tersebut tidak bisa diuji melalui MA, namun seharusnya melalui Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Karena Kepres tersebut , merupakan  keputusan presiden (beleid) yang bersifat individual, konkret dan final (beschikking). Itupun harus diajukan oleh pihak-pihak yang dirugikan secara langsung oleh keberadaan Satgas Mafia Hukum tersebut.
Menurut Mahfud,  peran Satgas Mafia Hukum sangat membantu bagi pemberantasan korupsi dan mafia hukum. Banyak kasus terungkap dan didorong penyelesaiannya melalui jalur resmi oleh Satgas . Contohnya, terungkapnya kasus sel mewah yang dihuni terpidana Artalyta Suryani alias Ayin, kasus suap terhadap jaksa Urip Tri Gunawan,  dan kasus mafia pajak Gayus Tambunan. (Berita Suara Media, 21/6/2010).
Untuk menguji eksistensi, peran, dan efektifitas kinerja dari suatu lembaga hukum, semisal Satgas Mafia Hukum, sekurang-kurangnya  terdapat dua tolok-ukur yang relevan  untuk dipergunakan yaitu   dari aspek keabsahan hukum (rechtmatigheid) dan aspek kemanfaatan (doelmatigheid). Yaitu, keabsahan hukum atas keberadaan Satgas Mafia Hukum yang dibentuk berdasarkan Kepres 37/2009 dan kemanfaatan atas kehadiran/kinerja Satgas dalam menjalankan peran, tugas dan wewenangnya selama ini.
   
Keabsahan Satgas Mafia Hukum
Patut diketahui ,maksud dan tujuan Petisi 28 mengajukan judicial review Kepres 37/2009 ke MA, adalah untuk menguji apakah keberadaan Satgas Mafia Hukum memiliki legalitas atau keabsahan hukum? Untuk itu, terdapat dua hal penting yang perlu dianalisis berkaitan proses permohonan judicial review ke MA , yaitu tentang obyek judicial review dan subyek pemohon.
Perlu dicatat, obyek judicial review di sini adalah Kepres No.37 tahun 2009. Permasalahannya, apakah Kepres tersebut termasuk dalam kualifikasi sebagai regeling (peraturan perundang-undangan), yang  rumusan  normanya bersifat umum dan abstrak (general and abstract norms)? Karena, secara normatif obyek dari suatu judicial review adalah Peraturan Perundang-undangan di bawah Undang Undang terhadap Undang Undang (Pasal 11 ayat 2 huruf b UU No. 4/2004). Antara lain meliputi Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Daerah Propinsi , Peraturan Daerah Kabupaten/Kota dan Peraturan Desa (pasal 7 UU No.10/2004). Lalu, di mana letak Kepres No. 37/2009?
Memang, bila ditelaah dari segi bentuk dan penamaan, Kepres 37/2009 secara kasat jelas bukan termasuk  peraturan perundang-undangan(regeling) seperti diatur pasal 7 UU No.10/2004 . Akan tetapi,  lebih mendekati atau  termasuk dalam kualifikasi sebagai keputusan (beschikking). Karena  rumusan normanya bersifat individual, konkret dan final (individual, concrete, and final norms). Artinya, dalam Kepres disebutkan secara konkret masing-masing individu yang menjadi anggota Satgas Mafia Hukum, dan mempunyai kekuatan mengikat sejak tanggal ditetapkan (final). Dengan demikian, dari aspek bentuk dan penamaan, Kepres tersebut memiliki karakteristik dari sebuah keputusan (beschikking).
Namun, apabila dianalisis lebih jauh, substansi atau materi muatan Kepres tersebut, menurut hemat penulis dapat dimasukkan peraturan perundang-undangan (regeling). Sebab, jika dicermati rumusan  tugas dan wewenang Satgas Mafia Hukum. Yakni melakukan koordinasi, evaluasi, koreksi, pemantauan , penelaahan dan penelitian agar pemberantasan mafia hukum lebih efektif. Maka, rumusan normanya bersifat umum dan abstrak. Yang berarti, Kepres tersebut memiliki karakteristik sebagai peraturan perundang-undangan (regeling) dari aspek substantif.
Dalam proses pengujian Kepres No. 37/2009, taruhlah  majelis hakim MA yang memeriksa judicial review sependapat dengan penulis, Kepres tsb termasuk dalam kualifikasi Peraturan Perundang-undangan (regeling). Maka, selanjutnya yang perlu diuji :  apakah Kepres tsb secara substantif telah sesuai dengan UU  atau sebaliknya?
Perlu disadari , untuk kepentingan judicial review  terhadap suatu Kepres  (peraturan perundang-undangan di bawah UU) , dasar pengujiannya (toetsingsgronden) yang dipergunakan oleh majelis hakim adalah Undang-Undang. Misalnya UU Kepolisian, UU Kejaksaan, UU KPK , UU Komisi Yudial, UU Ombudsman, UU PPATK, dan sebagainya . Artinya, apakah Kepres tsb dari segi isi atau materinya bertentangan dengan salah satu atau beberapa Undang Undang dimaksud? Jadi,  batu uji keabsahan Kepres tsb  adalah UU, bukan Undang Undang Dasar 1945  pasal 4 ayat 1, sebagaimana yang dikemukakan Aktivis Petisi 28 pada awal tulisan ini.
Sebaliknya, andaikan majelis hakim tidak sepakat dengan pandangan penulis, bahwa materi muatan Kepres No. 37/2009 adalah termasuk kategori peraturan perundang-undangan (regeling) . Dan hakim perpendapat lain,  Kepres tersebut termasuk kategori keputusan (beschikking). Maka, permohonan judicial review tentunya akan dinyatakan tidak diterima. Dengan alasan majelis hakim tidak berwenang mengadili perkara tersebut . Karena sepatutnya,  yang berwenang mengadili adalah hakim PTUN. Dalam konteks inilah, pihak yang mengatakan gugatan Kepres 37/2009 lebih tepat diajukan ke PTUN mendapatkan pijakan normatif .
Subyek pemohon judicial review, haruslah memiliki kedudukan hukum(legal standing) sebagai pemohon yang dipersyaratkan oleh Undang Undang . Yaitu pihak yang benar-benar dirugikan oleh berlakunya Kepres Satgas Mafia Hukum tersebut, dan memiliki  kapasitas bertindak entah sebagai perorangan, kesatuan masyarakat adat, badan hukum publik atau badan hukum privat (pasal 31A  UU N0. 3/2009).
Pertanyaannya, apakah Petisi 28 sebagai gabungan berbagai elemen masyarakat atau LSM yang berjumlah 28 buah  memiliki legal standing yang dipersyaratkan tersebut? Untuk keperluan tersebut,  yang harus dibuktikan,  pertama adalah apakah Petisi 28 itu bertindak sebagai orang perorangan, kesatuan masyarakat adat, badan hukum publik atau badan hukum privat? Kedua, yang harus dibuktikan , apakah betul bahwa Petisi 28 adalah pihak yang benar-benar dirugikan secara aktual oleh berlakunya Kepres Satgas Mafia Hukum tersebut.
Karena , ada sementara kalangan yang berpandangan bahwa aparat penegak hukum seperti Kepolisian, Kejaksaan, KPK, Komisi Yudisial, dan Komisi Ombudsman-lah, yang sesungguhnya memiliki legal standing untuk mengajukan judicial review. Jika memang benar,  keberadaan dan kinerjaSatgas Mafia Hukum dianggap telah mengintervensi kinerja aparat penegak hukum tersebut. Sehingga secara de facto kepentingan hukum aparat penegak hukum tersebut dirugikan.
Memproyeksi kemungkinan judicial review Kepres No. 37/2009 dikabulkan oleh MA,  menurut pandangan  penulis tidaklah mudah. Terkecuali jika kuasa hukum pemohon, dapat membuktikan secara sah dan meyakinkan bahwa Kepres tsb bertentangan dengan satu atau beberapa UU yang telah disebutkan di atas.
Di samping itu , kuasa hukum pemohon juga mampu membuktikan,bahwa Petisi 28 adalah sebagai pihak yang memiliki legal standing. Yakni, sebagai pihak yang secara de facto dirugikan kepentingan hukumnya,  akibat dikeluarkannya Kepres No. 37/2009 tersebut. Bila tidak, hal ini harus dipandang  sebagai  “warning alarm” untuk mendongkrak eksistensi dan peran  Satgas Mafia Hukum di tengah-tengah konstelasi dan kompetisi optimalisasi peran aparat penegak hukum dalam pemberantasan korupsi atau mafia hukum.
Satgas Mafia Hukum, bermanfaatkah?
Untuk menguji efektifitas eksistensi dari Satgas Mafia Hukum adalah dari aspek kemanfaatan (doelmatigheid). Aspek ini perlu dikemukakan, karena  menurut pendapat Logemann :  “suatu kaidah hukum mengikat apabila menunjukkan hubungan keharusan antara suatu kondisi dengan akibatnya”. Artinya, dari aspek historis,  kelahiran Satgas Mafia Hukum adalah merupakan suatu keharusan antara kondisi maraknya mafia hukum yang sangat kronis dan menggurita di seantero nusantara .Sehingga mengakibatkan penegakan hukum dalam semua lini dan level tidak dapat berjalan efektif, terutama pemberantasan korupsi dan mafia peradilan. Maka,  dengan demikian,  dipandang penting dan perlu dibentuk Satuan Tugas Pemberantasan  Mafia Hukum oleh Presiden SBY.
Dalam pandangan teori tujuan hukum, Jeremy Bentham mengintroduksi teori utilitas yang berbunyi : “tujuan hukum adalah memberikan kebahagiaan /kemanfaatan yang sebesar-besarnya buat masyarakat sebanyaknya (the greatest happiness is the greatest number of people)”. Hukum (lembaga hukum) dianggap memiliki eksistensi, jika mempunyai kefaedahan secara sosial (sociale doelmatigheid). Apakah keberadaan Satgas Mafia Hukum ini memiliki manfaat atau faedah secara sosial buat kepentingan masyarakat, bangsa dan negara ?
Jika diamati dan diikuti secara seksama dari publikasi/pemberitaan  media massa dan pendapat berbagai kalangan, diketahui peran strategis Satgas Mafia Hukum adalah : (1) sangat membantu bagi pemberantasan korupsi dan  mafia hukum. Banyak kasus terungkap dan didorong penyelesaiannya melalui jalur resmi oleh Satgas . Contahnya, kasus Ayin, Urip Tri Gunawan dan Gayus ;  (2) membantu kepolisian, kejaksaan dan KPK memberikan informasi atas temuan mafia hukum  ; (3) dapat menjadi trigger bagi kepolisian, kejaksaan, KPK  dalam proses investigasi, dan (4) dapat membantu memecah kebuntuan (ice-breaker)  dalam penegakan hukum. Bahkan kini Satgas juga turut menangani maraknya mafia pertambangan di Kalimantan Timur yang sangat merusak kawasan hutan dan lingkungan hidup (Kompas, 24/6/2010).
Tetapi, jujur diakui  mengingat usia Satgas belum genap satu tahun adalah wajar kalau di sana-sini kinerjanya belum maksimal seperti yang diharapkan oleh mayoritas masyarakat Indonesia . Salah satunya, kegagalan memberikan perlindungan Hukum terhadap saksi pelapor Komjen Susno Duadji dalam kaitan kasus mafia pajak Gayus Tambunan. Karena memang disadari, Satgas Mafia Hukum kini sedang mencari bentuk yang pas sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan pemberantasan mafia hukum yang lebih efektif dan mujarab . sehingga perlu dilakukan evaluasi dan instrospeksi secara komprehensif, baik mengenai dasar hukum pembentukan, urgensi, dan kinerja Satgas Mafia Hukum selama ini.
Kendatipun demikian, jika kita boleh menimbang-nimbang keberadaan lembaga ad-hoc seperti Satgas Mafia Hukum. Untuk sementara,  menurut pandangan penulis  masih sangat penting, relevan dan berfaedah bagi kepentingan pemberantasan mafia hukum di Indonesia. Jika dibandingkan dengan kerugian masyarakat akibat adanya Satgas Mafia Hukum. Walaupun, masih bisa disoal, sebenarnya masyarakat yang mana yang dirugikan akibat adanya Satgas Mafia Hukum tsb? Wallahu’alam
Hufron, SH.,MH., 
Kandidat Doktor Ilmu Hukum Univ. Brawijaya
Malang

Senin, 08 Februari 2010

Sekali Lagi Tentang Pemakzulan Presiden

Sebagaimana dilansir oleh berbagai media massa, pemerintah melalui Menteri Hukum dan HAM RI, Patrialis Akbar, di Istana Presiden Cipanas, tanggal 2-2-2010 menyatakan ada empat alasan atau prinsip presiden tidak bisa dimakzulkan. Empat prinsip dimaksud adalah : Pertama, prinsip dasar dalam sistem presidensil, presiden itu tak bisa dijatuhkan di tengah jalan, karena dia dipilih melalui pemilihan umum. Prinsip kedua, fixed term 5 tahun masa jabatan presiden dijamin, tak boleh diganggu dengan alasan politik apapun. Ini konsekuensi sistem presidensial. Prinsip ketiga, presiden adalah sebagai lambang negara. Bahkan dalam NKRI presiden lambang negara kesatuan, jadi tak hanya sebagai kepala pemerintahan, tapi lambang negara. Oleh karena itu tak mudah bahkan dipersulit konstitusi untuk menjatuhkan presiden dan wapres. Prinsip keempat, dalam negara kita hukum sebagai primadona, hukum bisa membatalkan putusan demokrasi, apabila putusan demokrasi bertentangan dengan konstitusi,
Memerhatikan secara seksama pernyataan di atas,  terasa ada yang menggelitik dan mengganjal dalam perspektif akademik, karena pernyataan tsb kental dan menonjol nuansa pembelaan, bahkan dalam skala tertentu dapat menyesatkan (misleading) pola pikir masyarakat tentang pranata impeachment atau pemakzulan Presiden dan atau Wakil Presiden, jika tidak diluruskan atau dielaborasi lebih lanjut.
Menurut saya, setidak-tidaknya ada empat alasan mendasar mengapa pernyataan tersebut tidak tepat dalam perspektif akademik :
Pertama, alasan historis. Jika ditilik sejarah pengaturan pranata impeachment dalam perubahan ketiga UUD 1945 yang dibidani Panitia Ac Hoc I Badan Pekerja MPR telah menyepakati dan menegaskan sistem pemerintahan presidensial yang bercirikan (1) adanya masa jabatan presiden yang bersifat tetap (fixed term) ; (2) presiden sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan; (3)adanya mekanisme saling mengawasi dan mengimbangi (checks and balances), dan (4) adanya mekanisme impeachment (vide: Panduan Dalam Memasyarakatkan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia: Latar Belakang, Proses Dan Hasil Perubahan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Sekretariat Jenderal  MPR RI, Jakarta, 2003, hlm 156).
Dalam sistem pemerintahan presidensial,  impeachment merupakan exceptional clause  terhadap masa jabatan Presiden dan /atau Wakil Presiden yang bersifat tetap (fixed term ). Artinya, pasangan Presiden dan Wakil Presiden terpilih tidak dapat diberhentikan dalam masa jabatannya, sebab mereka dipilih langsung oleh rakyat, terkecuali Presiden dan /atau Wakil Presiden terbukti telah melanggar hukum berdasarkan alasan dan prosedur yang tercantum dalam konstitusi.
Kedua, pijakan teoritis. Secara sederhana karateristik pemerintahan presidensial sebagaimana dikutip Denny Indrayana dari pendapat Alan R. Ball dan B. Guy Peters adalah : (1) Presiden adalah sebagai kepala negara dan sekaligus kepala pemerintahan ; (2) Presiden tidak dipilih oleh parlemen, tetapi langsung dipilih oleh rakyat (popular elected); (3) Presiden bukan bagian dari parlemen, dan tidak dapat diberhentikan oleh parlemen, kecuali melalui proses pamakzulan (impeachment); dan (4) Presiden tidak dapat membubarkan parlemen. (Denny Indrayana: 2008;198)  
Dari pendapat Alan R. Ball dan B. Guy Peters, dalam sistem pemerintahan presidensial , meskipun presiden dipilih langsung oleh rakyat, akan tetapi tetap dapat diberhentikan oleh parlemen dengan mekanisme pamakzulan (impeachment).
Dalam konteks sistem pemerintahan yang dianut UUD 1945 pasca perubahan,  juga mengandung karakter presidensial dimaksud. Sehingga meskipun Presiden dan Wapres dipilih  secara langsung oleh rakyat (popular elected) , akan tetapi tetap dapat diberhentikan di tengah masa jabatannya, melalui mekanisme impeachment. Hal ini berbeda dengan karakter parlementer ,  sebagaimana dideskripsikan Alan R. Ball dan B. Guy Peters bahwa  cabang kekuasaan eksekutif dipimpin seorang perdana menteri atau kanselir,  yang bersama-sama kabinet adalah bagian dari parlemen,  dipilih oleh parlemen dan setiap saat dapat diperhentikan oleh parlemen dengan mosi tidak percaya.
Ketiga, landasan filosofis. Di samping sebagai konsekuensi logis dari dianutnya sistem pemerintahan presidensial, pengaturan tentang pemberhentian Presiden dan /atau Wakil Presiden dalam UUD 1945 Perubahan Ketiga, juga sebagai konsekuensi dianutnya ajaran pemisahan kekuasaan dengan mekanisme checks and balances system. UUD 1945 pasca perubahan, menciptakan pola hubungan fungsional horisontal antara lembaga-lembaga negara, bukan  dalam hubungan struktural-vertikal. Kedudukan MPR, sejajar dengan lembaga negara yang lain seperti DPR, Presiden, MA, MK, dan BPK, dengan kewajiban saling mengawasi secara berkeseimbangan satu sama lain (checks and balances). Bentuk penerapan dari prinsip checks and balances yaitu adanya  mekanisme pemberhentian Presiden dan /atau Wakil Presiden di tengah jalan (pemakzulan). Sejatinya, Impeachment didesain sebagai instrumen untuk “menegur” perbuatan menyimpang, penyalahgunaan dan pelanggaran terhadap konstitusi oleh orang yang memegang jabatan publik, dalam hal ini termasuk Presiden dan /atau Wakil Presiden. Yang bisa saja berujung dengan pergantian presiden (presidential removal) atau presiden tetap dalam jabatan (presidential survival).
Keempat , dasar yuridis. sebagai konsekuensi logis dari dianutnya sistem pemerintahan presidensial, maka di dalam UUD 1945 diaturlah tentang alasan dan prosedur pemberhentian Presiden dan /atau Wakil Presiden dalam pasal 3 ayat 3, pasa1 7A, dan 7B . Pasal  3 ayat 3  menetapkan MPR dapat memberhentikan Presiden dan /atau Wakil Presiden dalam masa jabatan menurut UUD 1945. Pasal 7A menyebut enam alasan presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatan yaitu melakukan pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, melakukan perbuatan tercela atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden
Pasal 7B pada pokoknya mengatur  proses pemakzulan presiden dan /atau Wakil presiden berada di  tiga lembaga negara secara  berkesinambungan yaitu : proses impeachment di DPR RI, proses impeachment di MK dan proses impeachment di MPR;
Mengingat pasal 7 B  berkaitan dengan mekanisme pemakzulan  masih bersifat umum dan pokok-pokoknya saja, maka perlu pengaturan lebih lanjut secara lengkap dan rinci bagaimana syarat dan proses impeachment di DPR, syarat dan proses Impeachment di MK serta  bagaimana syarat dan proses impeachment di MPR. Untuk keperluan tersebut, terdapat UU No 27 tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD , khususnya pasal 184-188,  Undang Undang Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, terutama pasal 80-85, Tatib DPR RI , Tatib MPR RI dan  Peratuan MK  No. 21 tahun 2009 tentang Pedoman Beracara Dalam Memutus Pendapat DPR Mengenai Dugaan Pelanggaran oleh Presiden dan /atau Wapres, sebagai peraturan pelaksanaan hukum acara pemakzulan presiden dan /atau wapres .
Dengan demikian, pernyataan Menteri Hukum dan HAM RI, Patrialis Akbar bahwa presiden tidak bisa dimakzulkan karena alasan dipilih melalui pemilihan umum dan adanya fixed term 5 (lima)  tahun masa jabatan presiden , tidak memiliki alasan historis yang rasional, pijakan teoritis yang memadai, landasan filosofis yang cukup dan dasar hukum yang kuat .
Sebagai penutup perlu direnungkan apa yang dikatakan Mahatma Gandhi bahwa : “akar kekerasan adalah kemewahan tanpa bekerja, kesenangan tanpa hati  nurani, perdagangan tanpa moralitas, sains tanpa humanitas, penyembahan tanpa pengorbanan,politik tanpa prinsip nilai, ilmu tanpa kepribadian,”

Kandidat Doktor Ilmu Hukum Univ. Brawijaya Malang
Menulis Disertasi tentang Impeachment Presiden
HP : 081-2352-9300.




















































Sabtu, 06 Februari 2010

Minggu, 27 Desember 2009

REKOMENDASI TIM 8

EXECUTIVE SUMMARY

PENDAHULUAN

Proses hukum terhadap Chandra M. Hamzah (selanjutnya disebut “Chandra”) dan Bibit Samad Rianto (selanjutnya disebut “Bibit”) menjadi isu strategis di masyarakat karena menimbulkan kecurigaan adanya rekayasa terhadap proses hukum tersebut.
Untuk menjawab kecurigaan tersebut, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, pada tanggal 2 November 2009, menerbitkan Keputusan Presiden No. 31 Tahun 009 tentang Pembentukan Tim Independen Verifikasi Fakta dan Proses Hukum atas Kasus Sdr. Chandra M. Hamzah dan Sdr. Bibit Samad Rianto (selanjutnya disebut “Tim 8”).
Tim 8 bertugas untuk melakukan verifikasi fakta dan proses hukum atas Kasus Chandra M. Hamzah dan Bibit Samad Rianto. Jangka waktu yang diberikan untuk mengumpulkan fakta dan melakukan verifikasi adalah 14 hari kerja, dan dapat iperpanjang jika diperlukan. Tim 8 juga berwenang untuk berkoordinasi dengan berbagai instansi pemerintah dan memanggil pihak-pihak yang dianggap terkait dengan penanganan kasus ini.
Dalam melaksanakan tugasnya, Tim 8 memverifikasi pihak-pihak yang terkait kasus Chandra dan Bibit, serta melakukan gelar perkara atas kasus tersebut. Terdapat beberapa temuan yang pada intinya menyangkut:
a. dugaan adanya praktik mafia hukum, sebagaimana terindikasi dalam rekaman penyadapan pembicaraan Anggodo Widjojo dengan pihak-pihak tertentu yang diputar dalam sidang di Mahkamah Konstitusi pada tanggal 3 November 2009;
b. Antasari Azhar berinisiatif untuk membuka dugaan suap terhadap pimpinan KPK, melalui testimoni yang dibuatnya dan membuat Laporan Pengaduan kepada polisi;
c. Adanya potensi benturan kepentingan pada tahap penyidikan perkara Chandra dan Bibit, antara Susno Duadji sebagai pribadi yang tersadap KPK, dengan jabatannya selaku Kabareskrim. Hasil sadapan telepon tersebut antara lain pembicaraan Susno Duadji dengan Lucas, terkait upaya pencairan dana milik Budi Sampoerna di Bank Century.
Berdasarkan verifikasi tersebut, Tim 8 menyimpulkan dan merekomendasikan hal-hal sebagai berikut:
KESIMPULAN
1. Proses Hukum Chandra dan Bibit:
a. Pada awalnya, proses pemeriksaan terhadap dugaan adanya penyuapan dan/atau pemerasan dalam kasus Chandra dan Bibit adalah wajar (tidak ada rekayasa) berdasarkan alasan-alasan:
1) Testimoni Antasari Azhar
2) Laporan Polisi oleh Antasari Azhar
3) Rekaman pembicaraan Antasari Azhar dengan Anggoro di Singapura di Laptop Antasari Azhar di KPK
4) Keterangan Anggodo tanggal 7 Juli 2009
5) Keterangan Anggoro tanggal 10 Juli 2009 di Singapura
6) Keterangan Ari Muladi.
b. Dalam perkembangannya Polisi tidak menemukan adanya bukti penyuapan dan/atau pemerasan, namun demikian Polisi terlihat memaksakan dugaan penyalahgunaan wewenang oleh Chandra dan Bibit dengan menggunakan:
1) Surat pencegahan ke luar negeri terhadap Anggoro;
2) Surat pencegahan dan pencabutan cegah keluar negeri terhadap Djoko Tjandra.
c. Polri tidak memiliki bukti yang cukup untuk mendakwa Chandra dan Bibit atas dasar penyalahgunaan wewenang berdasarkan Pasal 23 UU Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 421 KUHP dan pemerasan berdasarkan Pasal 12 (e) Undang-undang Tindak Pidana Korupsi serta percobaannya berdasarkan Pasal 15 UU Tindak Pidana Korupsi.
d. Dalam gelar perkara tanggal 7 Nopember 2009, Jaksa Peneliti Kasus Chandra dan Bibit juga menilai bahwa bukti-bukti yang diajukan oleh penyidik masih lemah.
e. Aliran dana dari Anggodo Widjojo ke Ari Muladi terputus dan tidak ada bukti yang menyatakan uang tersebut sampai ke tangan pimpinan KPK.
2. Profesionalisme Penyidik dan Penuntut
Tim 8 berkesimpulan profesionalisme penyidik dari Kepolisian dan penuntut dari Kejaksaan sangat lemah mengingat sangkaan dan dakwaan tidak didukung oleh fakta dan bukti yang kuat. Fenomena mengikuti ‘apa yang diinginkan oleh atasan’ dikalangan penyidik dan penuntut umum masih kuat, sehingga penyidik dan penuntut umum tidak bebas mengembangkan temuannya secara obyektif dan adil. Sehingga terkesan adanya rekayasa. Munculnya intruksi dari atasan tersebut, tidak terlepas dari danya benturan kepentingan pada atasan yang bersangkutan.
3. Makelar Kasus
Dalam proses verifikasi yang dilakukan oleh Tim 8, ditemukan dugaan kuat atas terjadinya fenomena Makelar Kasus (Markus). Fenomena ini tidak hanya ada di Kepolisian, Kejaksaan, ataupun Advokat, tetapi juga di KPK dan LPSK. Bahkan pada kasus lainnya, mafia hukum juga menjangkiti profesi notaris dan Pengadilan.
4. Institutional Reform
Tim 8 juga menemukan adanya permasalahan institusional dan personal di dalam tubuh kepolisian, kejaksaan, KPK, termasuk Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) sehingga menimbulkan disharmoni dan tidak efektifnya institusi-institusi tersebut dalam menjalankan tugas dan wewenangnya.
REKOMENDASI
Berdasarkan kesimpulan yang diperoleh, Tim 8 merekomendasikan kepada Presiden untuk :
1. Setelah mempelajari fakta-fakta, lemahnya bukti-bukti materil maupun formil dari penyidik, dan demi kredibilitas sistem hukum, dan tegaknya penegakan hukum yang jujur dan obyektif, serta memenuhi rasa keadilan yang berkembang di masyarakat, maka proses hukum terhadap Chandra M. Hamzah dan Bibit S. Rianto sebaiknya dihentikan. Dalam hal ini Tim 8 merekomendasikan agar:
a. Kepolisian menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) dalam hal perkara ini masih di tangan kepolisian;
b. Kejaksaan menerbitkan Surat Keputusan Penghentian Penuntutan (SKPP) dalam hal perkara ini sudah dilimpahkan ke kejaksaan; atau
c. Jika kejaksaan berpendapat bahwa demi kepentingan umum, perkara perlu dihentikan, maka berdasarkan asas opportunitas, Jaksa Agung dapat mendeponir perkara ini.
2. Setelah menelaah problematika institusional dan personel lembaga-lembaga penegak hukum dimana ditemukan berbagai kelemahan mendasar maka Tim 8 merekomendasikan agar Presiden melakukan:
a. Untuk memenuhi rasa keadilan, menjatuhkan sanksi kepada pejabat-pejabat yang bertanggung jawab dalam proses hukum yang dipaksakan dan sekaligus melakukan reformasi institusional pada tubuh lembaga kepolisian dan kejaksaan;
b. Melanjutkan reformasi institusional dan reposisi personel pada tubuh Kepolisian, Kejaksaan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Lembaga Perlindungan saksi dan Korban (LPSK) tentu dengan tetap menghormati independensi lembaga-lembaga tersebut, utamanya KPK.
Untuk mereformasi lembaga-lembaga penegak hukum tersebut diatas maka Presiden dapat menginstruksikan dilakukannya ‘governance audit’ oleh suatu lembaga independen, yang bersifat diagnostic untuk mengidentifikasi persoalan dan kelemahan mendasar di tubuh lembaga-lembaga penegak hukum tersebut.
3. Setelah mendalami betapa penegakan hukum telah dirusak oleh merajalelanya makelar kasus (markus) yang beroperasi di semua lembaga penegak hukum maka sebagai ‘shock therapy’ Presiden perlu memprioritaskan operasi pemberantasan makelar kasus (markus) di dalam semua lembaga penegak hukum termasuk di lembaga peradilan dan profesi advokat; dimulai dengan pemeriksaan secara tuntas dugaan praktik mafia hukum yang melibatkan Anggodo Widjojo dan Ari Muladi oleh parat terkait.
4. Kasus-kasus lainnya yang terkait seperti kasus korupsi Masaro; proses hukum terhadap Susno Duadji dan Lucas terkait dana Budi Sampoerna di Bank Century; serta kasus pengadaaan SKRT Departemen Kehutanan; hendaknya dituntaskan.
Setelah mempelajari semua kritik dan input yang diberikan tentang lemahnya strategi dan implementasi penegakan hukum serta lemahnya koordinasi di antara lembaga–lembaga penegak hukum maka Presiden disarankan membentuk Komisi Negara yang akan membuat program menyeluruh dengan arah dan tahapan-tahapan yang jelas untuk pembenahan lembaga-lembaga hukum, termasuk organisasi profesi Advokat, serta sekaligus berkoordinasi dengan lembaga-lembaga hukum lainnya untuk menegakkan prinsip-prinsip negara hukum, due proccess of law, hak-hak asasi manusia dan keadilan.




Selasa, 22 Desember 2009

Centurygate dan Impeachment Presiden / Wapres



Seorang sahabat yang menjadi anggota DPR RI bertanya  – kebetulan tahu saya sedang menyelesaikan disertasi tentang impeachment  Presiden dan atau Wapres di Indonesia – apakah kasus Bank Century (BC) / Centurygate bisa bermuara pada impeachment presiden dan atau wapres ? Bagaimana relevansi dan urgensi dari hak angket century terhadap impeachment presiden SBY dan /atau wapres Boediono?
Secara akademis saya jawab bisa, sepanjang memenuhi alasan maupun prosedur impeachment yang dipersyaratkan konstitusi. Sedangkan relevansi serta urgensi hak angket century  hanya sebagai pintu masuk (entry-point) dari proses panjang impeachment presiden dan atau wapres.
Sinyalemen demikian, tampaknya juga dicemaskan oleh Presiden SBY dalam pidatonya yang dikutip Kompas, 7 Desember 2009 : “Presiden menilai saat ini  telah terjadi fitnah dan pembunuhan karakter yang bertujuan untuk menggoyang bahkan menjatuhkan pemerintahan serta menjatuhkan nama baik Partai Demokrat –  yakni tudingan tentang aliran dana talangan Bank Century ke sejumlah kader Partai Demokrat ”.
Menurut saya makna frase “menggoyang dan menjatuhkan pemerintahan”, sejatinya sinomim  dengan makna impeachment kepala pemerintahan (presiden dan atau wakil presiden). Yang berarti, pemanggilan atau pendakwaan untuk meminta pertanggungjawaban atas persangkaan pelanggaran hukum yang dilakukan oleh Presiden dan atau Wakil Presiden dalam masa jabatan.
 Dalam Black’s Law Dictionary,  impeachment didefinisikan sebagai “A criminal proceeding against a public officer, before a quasi political court, instituted by a written accusation called ‘articles of impeachment’ ” (suatu proses pendakwaan pejabat publik di hadapan pengadilan semi politik /senat dilakukan dengan diajukan tuduhan tertulis yang disebut surat dakwaan dari impeachment.) Proses impeachment dimulai dengan adanya articles of impeachment  yang berfungsi sama dengan surat dakwaan dalam sistem peradilan pidana. Dengan demikian, articles of impeachment dapat dipahami sebagai surat resmi yang berisi tuduhan yang menunjukkan dimulainya suatu proses impeachment.
Nah, Jika tuntutan atau articles of impeachment terbukti, maka hukumannya adalah pemberhentian dari jabatan (removal from office)  atau pemakzulan. Pemakzulan presiden dan atau wapres  sama artinya dengan pemberhentian presiden dan atau wapres dalam masa jabatan.
Dalam konteks centurygate, kenapa impeachment ditujukan kepada Presiden SBY  dan atau Wapres Boediono? Menurut saya ditujukan kepada  wapres Boediono , karena pengambilan kebijakan dana talangan (bailout) BC diputus oleh Boediono yang pada saat itu menjabat sebagai Gubernur BI. Mengapa pula impeachment disasarkan kepada Presiden SBY ? Karena, bisa saja  kebijakan yang diambil oleh Gubernur BI dan Menteri Keuangan berkenaan dana talangan (bailout) BC saat itu  seijin atau mendapat persetujuan Presiden. Terlebih ditengarai pada saat rapat KSSK , dihadiri oleh Marsilam Simanjutak,  ketua UKP3R, yang notabene merupakan liaison antara Presiden SBY dengan KSSK.
 Jika tengara tersebut benar, sudah tentu hasil rapat KSSK telah dilaporkan kepada Presiden SBY oleh  Marsilam Simanjutak sebagai penerima mandat. Sebaliknya, jika tengara tersebut tidak benar, maka proses impeachment hanya bisa addressat to wapres Boediono.

Alasan  dan Prosedur Impeachment
Pasal  7B UUD 1945 ( perubahan ketiga)  menyebutkan alasan impeachment  presiden dan atau  wapres dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu alasan pelanggaran hukum dan pelanggaran administrasi. Pelanggaran hukum meliputi lima alasan yaitu makar, korupsi, pennyuapan, tindak pidana berat lainnya dan melakukan perbuatan tercela. Pelanggaran administrasi yaitu  presiden dan /atau wakil presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai  presiden dan atau wakil presiden.
Menurut saya – dari enam alasan dalam konstitusi – satu alasan yang relevan dengan kasus BC adalah pengambilan kebijakan dana talangan (bailout) BC terjadi -  karena ada indikasi penyalahgunaan wewenang, kesempatan atau sarana, atau kedudukan karena jabatan, sehingga merugikan keuangan negara atau perekonomian nasional.
Jika, pansus angket dengan kerja-keras dan kerja cerdasnya, bisa mengungkap dan membuktikan bahwa pengambilan kebijakan bailout BC terjadi lantaran adanya penyalahgunaan wewenang oleh pejabat yang berwenang , maka secara normatif, laporan pansus hak angket century, dapat dinaikkan atau dimajukan menjadi Hak Menyatakan Pendapat DPR.
Sebaliknya, jika pansus hak angket tidak mampu dan berhasil menelisik adanya penyalahgunaan wewenang oleh SBY sebagai Presiden dan Boediono sebagai Gubernur BI pada saat itu pengambilan kebijakan bailout  BC tersebut , maka laporan pansus angket century paling banter terumus sebagai berikut  :  ”Kebijakan berkaitan dengan  bailout BC tidak bertentangan dengan peraturan Perundang-undangan, usul hak angket dinyatakan selesai, dan materi angket tidak dapat diajukan kembali.”
Pada hakekatnya, kegagalan pansus angket century untuk mengungkap adanya penyalahgunaan wewenang dalam penerbitan kebijakan bailout  BC, selain karena aspek substansi masalah tidak dapat dibuktikan , tetapi dapat juga  karena aspek prosedural yakni quorum pengambilan keputusan rapat paripurna DPR mengenai laporan panitia angket.
Patut diketahui, keputusan rapat paripurna laporan panitia angket harus dihadiri lebih dari ½  jumlah anggota DPR dan putusan diambil dengan persetujuan lebih dari ½ jumlah anggota DPR yang hadir (pasal 182 ayat 3 UU No. 27/2009). Mengingat  jumlah anggota DPR RI saat ini adalah 560 orang, maka rapat paripurna harus dihadiri sekurang-kurangnya 281 orang anggota , dan putusan diambil dengan persetujuan 141 orang anggota DPR yang hadir.
Apabila diperhatikan konfigurasi perolehan suara partai di DPR untuk pemilu tahun 2009 , bisa saja pengambilan keputusan tersebut, tidak bisa mencapai quorum, manakala keputusan paripurna tersebut hanya didukung oleh partai ”oposisi” (PDIP, Gerindra, Hanura) yang hanya didukung 137 suara, sedangkan partai koalisi Domokrat (Golkar, PKS, PAN, PPP, dan PKB)  berjumlah 423 suara.
Sebagaimana diketahui, untuk dapat dilakukan impeachment presiden dan atau wapres, hak angket harus dilanjutkan atau dimajukan menjadi Hak Menyatakan Pendapat. Karena impeachment  presiden dan atau wapres dimulai dari adanya Hak Menyatakan Pendapat DPR bahwa presiden dan atau wapres melakukan pelanggaran hukum baik berupa makar, korupsi, penyuapan , tindak pidana berat lainnya maupun perbuatan tercela, serta presiden dan atau wapres tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden dan atau wapres.
Selanjutnya, DPR menyampaikan keputusan tentang Hak Menyatakan Pendapat tersebut kepada Mahkamah Konstitusi (MK). MK lebih lanjut akan memeriksa, mengadili dan memutus dugaan pelanggaran hukum tersebut paling lama 90 sejak diajukan permintaan.
Dalam hal, MK memutus pendapat DPR atas dugaan pelanggaran yang dilakukan presiden dan atau wapres tersebut terbukti, maka DPR menyelenggarakan rapat paripurna untuk meneruskan usul pemberhentian presiden dan /atau wapres kepada MPR. Sebaliknya, dalam hal MK memutuskan bahwa pendapat DPR atas dugaan pelanggaran tersebut tidak terbukti, usul pemberhentian presiden dan /atau wapres tidak dilanjutkan.
            Kendatipun demikian, perlu dicatat bahwa rapat paripurna DPR dapat menerima atau menolak laporan kerja pansus Hak Menyatakan Pendapat dengan syarat rapat dihadiri sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota DPR dan keputusan diambil dengan persetujuan sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota DPR yang hadir (pasal 187 ayat 3 dan 4 UU No. 27/2009).
Mengingat jumlah anggota DPR kita adalah 560 orang, maka rapat paripurna Hak Menyatakan Pendapat harus dihadiri sekurang-kurangnya 373 orang dan keputusan diambil  dengan persetujuan sekurang-kurangnya 249 orang. Sehingga, rapat paripurna tersebut dapat dipastikan akan menolak laporan kerja pansus Hak Menyatakan Pendapat , karena jumlah suara partai koalisi lebih mendominasi yaitu berjumlah 423 suara. Oleh karena itu, harapan untuk membawa ”centurygate” ke proses impeachment  presiden dan atau wapres Boediono, akan menjadi sia-sia belaka, jika suara mayoritas partai koalisi tetap solid dan tidak terfragmentasi .

Pemakzulan Presiden/Wapres
Sebagaimana disebutkan di atas, dalam hal MK memutus Pendapat DPR atas dugaan pelanggaran oleh presiden dan atau wapres tersebut terbukti, maka DPR menyelenggarakan rapat paripurna untuk meneruskan usul pemberhentian presiden dan atau wapres kepada MPR.
MPR akan mengadakan sidang paripurna untuk menentukan apakah presiden dan /atau wapres akan diberhentikan atau tetap dalam jabatan, dengan syarat rapat harus  dihadiri sekurang-kurangnya ¾  dari seluruh anggota MPR; dan keputusan disetujui sekurang-kurangnya   dari anggota MPR yang hadir. Dus, berarti sidang paripurna MPR memenuhi quorum apabila dihadiri ¾ dari seluruh jumlah MPR (692 orang ) yaitu 510 orang dan keputusan disetujui sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota MPR yang hadir (519 orang) yakni 346 orang.
Jumlah 346 anggota MPR tersebut juga masih lebih sedikit (kalah) dari jumlah total suara partai koalisi 423 orang. Maka harapan untuk dapat memberhentikan presiden dan /atau wapres Boediono, dengan memperhatikan peta politik di atas, menurut hemat saya relatif sulit, berliku dan melelahkan.Terkecuali suara koalisi pecah dan pecahan suara koalisi tersebut,  jika digabung dengan partai ”oposisi” bisa menjadi minimal 424 orang, maka keputusan MPR bisa menentukan lain.
Apabila diperhatikan prosedur impeachment presiden dan atau wapres di atas, jika dibandingkan dengan pemberhentian Presiden Soekarno dan Abdurrahman Wahid, dapat dikatakan lebih baik,  karena  melibatkan pihak ketiga, yaitu MK untuk memeriksa, mengadili dan memutus apakah dugaan pelanggaran hukum dan administrasi oleh Presiden dan /atau wapres  terbukti atau tidak secara yuridis.
Sayangnya,  putusan MK tersebut tidak memiliki kekuatan mengikat secara hukum(non-legal binding) . Artinya, meskipun putusan MK menyatakan dugaan atas pelanggaran hukum/administrasi terbukti, namun soal apakah selanjutnya presiden dan atau wapres diberhentikan atau tetap dalam jabatan, sangat tergantung kepada putusan politik  (politieke beslissing) di MPR.
Idealnya, memang posisi MK tidak berada di tengah, tetapi berada posisi di akhir proses impeachment, sehingga kedudukan dan fungsi MK menguji apakah keputusan politik untuk memakzulkan presiden dan atau wapres sudah tepat atau tidak secara yuridis, seperti dipraktekkan oleh MK Korea Selatan.

Dosen , Praktisi Hukum & Kandidat Doktor Ilmu Hukum Univ. Brawijaya Malang
HP : 081-2352-9300.










Kamis, 17 Desember 2009


Rabu, 16 Desember 2009

Suap dan Penegakan Hukumnya


(Suatu Pendekatan Keteladanan Sang Pemimpin)
Belakangan istilah yang sering disebut atau dikutip oleh media, selain istilah korupsi adalah istilah suap. Terlebih setelah terjadi kasus dugaan kriminalisasi dua pimpinan KPK Bibit Samad Rianto (Bibit) dan Chandra Marta Hamzah (Chandra) dan diperdengarkan rekaman Anggodo Widjojo pada sidang MK 3 Nopember 2009 yang lalu. Dari hasil rekaman tersebut, betapa hebatnya  Anggodo Widjojo  “menskenario” kriminalisasi pimpinan KPK dengan tindak pemerasan.
Di samping itu, kita juga mendapatkan gambaran bahwa betapa besar peran markus (makelar kasus) dalam merusak sistem peradilan, yang seharusnya berwibawa, jujur, bersih, adil dan bertanggungjawab. Kasus terungkapnya peran dan lihainya Anggodo Widjojo dalam “menggoreng” sebuah perkara – sebagaimana banyak diungkap berbagai media massa - , menurut saya hanya merupakan fenomena gunung es. Artinya, kasus serupa dalam praktek peradilan sedemikian banyak dan berurat akar seolah menjadi “budaya” yang sulit diberantas.
Kendatipun, UU Korupsi yang baru (UU No. 20/2001) telah masukkan tindakan suap dalam rumpun tindak pidana korupsi. Sehingga ancaman hukumannya lebih berat bila dibandingkan ketentuan sanksi  pidana Suap yang terdapat dalam KUHP dan UU No. 11/1980. Sebagai misal, pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima suap, menurut pasal 12 a UU No 20/2001 diancam pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 200 juta dan paling banyak satu miliar rupiah.
Sebaliknya, bagi setiap orang yang memberikan suap kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara, diancam pidana penjara paling singkat satu tahun dan paling lama lima tahun atau pidana denda paling sedikit  Rp. 50 juta dan paling banyak Rp. 250 juta.
Apakah dengan ketentuan pidana, baik denda dan atau penjara yang tinggi atau berat, otomatis tindak pidana suap (korupsi)  berkurang di Indonesia? Jawabnya : Tidak ditemukan riset yang khusus untuk menemukan relasi pengaruh tinggi atau beratnya sanksi pidana terhadap berkurangnya tindak pidana suap (korupsi) di Indonesia.Tetapi fakta lain, menunjukkan ketentuan sanksi pidana yang berat sekalipun ,misalnya dalam tindak pidana narkotika, psikotopika, pembunuhan berencana, termasuk tindak pidana korupsi (suap), entoh kejahatan tetap terjadi dan dalam jumlah yang terus meningkat.
Bahkan, salah seorang pimpinan KPK, Haryono Umar dalam wawancara dengan radio "Suara Surabaya" mengatakan bahwa dalam penanganan kasus korupsi, tindakan suaplah yang paling sulit pembuktiannya dan paling banyak jumlah kasusnya.
Dari sinilah perlunya dipikirkan alternatif lain dalam penegakan hukum suap.Tulisan ini hendak mencoba mengajukan satu tawaran alternatif penegakan hukum suap dengan pendekatan moral agama.
Sebagaimana dikonstatasi Harkristuti Harkrisnowo (2003 ; 28)  bahwa “kondisi penegakan hukum di Indonesia saat ini ditengarai mendekati titik nadir, telah menjadi sorotan yang luar biasa dari komunitas dalam negeri maupun internasional. Proses penegakan hukum , pada khususnya, acap dipandang bersifat diskriminatif, inkonsisten, dan mengedepankan kepentingan kelompok tertentu…”
Setidak-tidaknya  terdapat lima alasan mengapa hukum di Indonesia sulit ditegakkan ? Pertama, aparat penegak hukum terkena sangkaan dan dakwaan korupsi atau suap. Kedua, mafia peradilan marak dituduhkan; Ketiga, hukum seolah dapat dimainkan, dipelintirkan , bahkan hanya berpihak kepada mereka yang memiliki status sosial yang tinggi ; Keempat, penegakan hukum lemah dan telah kehilangan kepercayaan masyarakat; Kelima, masyarakat apatis, mencemooh dan melakukan proses peradilan jalanan (Hikmahanto Juwana, Dies Natalis ke-56 Universitas Indonesia, 2006).
Hasil riset yang dilakukan Soerjono Soekanto (1978 : 534), ditemukan lima faktor yang menentukan efektifitas penegakan hukum, antara lain sebagai berikut : (1) pemberian teladan kepatuhan hukum oleh aparat penegak hukum ; (2)sikap lugas dan tegas (zakelijk) dari para penegak hukum ; (3)penyesuaian peraturan yang berlaku dengan perkembangan teknologi mutakhir ; (4) penyuluhan mengenai keberadaan peraturan  yang berlaku terhadap masyarakat ; dan (5) memberi waktu yang cukup bagi masyarakat untuk memahami peraturan yang baru dibuat.
Menurut saya, satu hal penting yang perlu dicatat dan dielaborasi  dari hasil penelitian Soerjono Soekanto tersebut adalah pemberian teladan kepatuhan hukum oleh aparat penegak hukum . Dalam bahasa agama disebut ; adanya uswatun hasanah (contoh yang baik) oleh aparat penegak hukum dan aparat birokrat. Dalam bahasa lain dapat dirumuskan dengan kalimat :  “  satunya kata dengan tindakan”.
Dalam suatu kesempatan  Rasulullah Muhammad SAW di hadapan para sahabat mengatakan bahwa beliau akan memotong sendiri, andai putrinya Fatimah melakukan pencurian. Sungguh contoh yang luar biasa.Keberanian sekaligus ketegasan seorang pemimpin terhadap tidak saja kepada rakyatnya, juga kepada putrinya sendiri.

Dalam salah satu tulisannya - Baharuddin Lopa  (2000, 82) pernah mengatakan : “Dalam mencegah dan memberantas korupsi (suap), tidak terlalu banyak penyampaian kata-kata, cukup sikap kita yang terpuji yang dilihat oleh sesama dan jajaran kita untuk dijadikan teladan. Satu tingkah laku yang positif yang diperlihatkan oleh atasan kepada bawahan,  jauh lebih efektif daripada 2000 kata
Berbicara keteladanan aparat penegak hukum, sejatinya  berbicara soal integritas dan moralitas aparat penegak hukum . Berkaitan hal tersebut , terdapat adagium dalam bahasa latin  berbunyi : quid lege sine moribus  ? Apa artinya hukum kalau tidak disertai moralitas aparat penegak hukum ? Dalam kaitan antara moralitas, budaya malu,  dan keteladanan aparat penegak hukum; Baharuddin Lopa (2001, 82) juga membuat deskripsi yang menarik sebagai berikut :
Dalam membicarakan persoalan integritas moral tak dapat dipisahkan budaya malu yang dimiliki oleh seseorang. Mengapa ? Karena tidak mungkin seseorang tidak merasa malu melakukan perbuatan tidak terpuji,kalau ia bermoral sebagaimana diajarkan oleh agama (Islam), karena malu adalah sebagian dari iman (moral). Hanya orang yang bermoral yang malu melakukan perbuatan tidak terpuji tersebut. Mereka tidak melakukan perbuatan tidak terpuji, bukan karena takut ditangkap atau dihukum, tetapi karena malu kepada sesama, terutama malu dan takut kepada Allah. Orang yang berkepribadian seperti inilah yang mampu menjadi teladan. Sedangkan unsur keteladanan ini sangat mutlak dimiliki oleh kalangan atas agar dapat dicontoh dan diikuti oleh seluruh jajarannya”.

Di seberang yang lain, terdapat contoh baik (best practices) yang perlu disosialisasikan, disebarluarkan, dihayati dan diamalkan oleh setiap insan penegak hukum. Yakni  Ikrar Anti-suap yang dikumandangkan oleh Asosiasi advokat Indonesia Jakarta, pada tanggal 1 Februari 2002, yang pada pokoknya menyerukan  ikrar sebagai berikut :
(1)     Dalam menjalankan tugas profesi, kami selaku advokat, tidak akan melakukan dan/atau memberikan toleransi terhadap perbuatan-perbuatan tidak terpuji yang tergolong ke dalam tindakan suap dalam bentuk apapun;
(2)     Kami menyerukan kepada sesama rekan advokat selain AAI, agar tidak melakukan perbuatan-perbuatan tidak terpuji yang tergolong ke dalam tindakan suap dalam bentuk apapun;
(3)     Kami menyerukan agar semua pejabat yang bertugas di bidang penegakan hukum, seperti polisi, jaksa, dan hakim untuk juga tidak melakukan dan/atau tidak memberikan toleransi terhadap perbuatan yang tidak terpuji yang tergolong ke dalam tindakan suap dalam bentuk apapun;
(4)     Kami menyerukan agar pihak DPR, Pemerintah dan lembaga-lembaga  Negara yang lain untuk memberikan komitmen antisuap dan mempraktekkannya dalam menjalankan tugas maupun dalam melaksanakan kehidupan sehaari-hari.
(5)     Kami menyerukan agar Presiden, Wakil Presiden dan para menteri agar mempunyai political will dan political action yang jelas untuk memberantas semua bentuk tindakn suap-menyuap;
(6)     Kami mendesak agar pihak yang berwenang di bidang hukum untuk menjatuhkan sanksi seberat-beratnya sesuai hukum yang berlaku kepada siapapun yang terbukti terlibat di dalam praktek suap;
(7)     Kami mengajak semua komponen bangsa dan semua lapisan masyarakat untuk ikut aktif terlibat di dalam melakukan kampanye antisuap di seluruh pelosok Indonesia.

Pada intinya Ikrar Antisuap tersebut menyerukan kepada aparat penegak hukum (polisi, jaksa, hakim, advokat), DPR, pemerintah, menteri, lembaga-lembaga negara yang lain, presiden/wapres, dan semua komponan bangsa , untuk tidak melakukan dan/atau tidak memberikan toleransi terhadap perbuatan yang tidak terpuji yang tergolong ke dalam tindakan suap dalam bentuk apapun.
Bila deklarasi anti-suap tersebut tidak sebatas Ikrar, tapi betul-betul diejahwantahkan dalam praktek penegakan hukum dan pelayanan publik di bumi pertiwi ini, dalam jangka panjang , seperti harapan kita bersama , Insya Allah dapat tercipta pemerintahan yang bersih dari suap (korupsi), sehingga tercipta kesejahteraan, kemakmuran dan keadilan soal.
Sebagai catatan penutup, penulis mengutip pidato terakhir Rasulullah di depan umatnya di padang Arofah pada saat haji wada’ atau pemungkas)  , yang merupakan bukti nyata kecintaan Nabi Muhammad terhadap keadilan, sebagai bahan renungan kita bersama:
Wahai manusia ! Perhatikan kata-kata ini, barangkali aku tidak akan bersamamu lagi setelah tahun ini dengan kalian, di tempat ini. berlakulah adil dan manusiawi di antara kalian. Harta dan jiwa kalian masing-masing adalah suci tidak dapat diganggu oleh orang lain.Beriman merupakan kewajiban setiap orang dan kalian pasti akan menghadap Tuhan, pada waktu itu kalian diminta pertanggungjawaban atas segala perbuatanmu. Kalian harus membimbing mereka dengan penuh kepercayaan. Wahai manusia! Dengarlah kata-kataku  dan ingatlah. Telah kuberikan segalanya. Aku telah tinggalkan hukum yang harus kalian pertahankan dan jalankan dengan sebaik-baiknya, Al Qur’an dan hadits “.






Hufron, SH.MH.,
Dosen , Praktisi Hukum & Kandidat Doktor Ilmu Hukum Univ. Brawijaya Malang
HP : 081-2352-9300.