Rabu, 16 Desember 2009

Suap dan Penegakan Hukumnya


(Suatu Pendekatan Keteladanan Sang Pemimpin)
Belakangan istilah yang sering disebut atau dikutip oleh media, selain istilah korupsi adalah istilah suap. Terlebih setelah terjadi kasus dugaan kriminalisasi dua pimpinan KPK Bibit Samad Rianto (Bibit) dan Chandra Marta Hamzah (Chandra) dan diperdengarkan rekaman Anggodo Widjojo pada sidang MK 3 Nopember 2009 yang lalu. Dari hasil rekaman tersebut, betapa hebatnya  Anggodo Widjojo  “menskenario” kriminalisasi pimpinan KPK dengan tindak pemerasan.
Di samping itu, kita juga mendapatkan gambaran bahwa betapa besar peran markus (makelar kasus) dalam merusak sistem peradilan, yang seharusnya berwibawa, jujur, bersih, adil dan bertanggungjawab. Kasus terungkapnya peran dan lihainya Anggodo Widjojo dalam “menggoreng” sebuah perkara – sebagaimana banyak diungkap berbagai media massa - , menurut saya hanya merupakan fenomena gunung es. Artinya, kasus serupa dalam praktek peradilan sedemikian banyak dan berurat akar seolah menjadi “budaya” yang sulit diberantas.
Kendatipun, UU Korupsi yang baru (UU No. 20/2001) telah masukkan tindakan suap dalam rumpun tindak pidana korupsi. Sehingga ancaman hukumannya lebih berat bila dibandingkan ketentuan sanksi  pidana Suap yang terdapat dalam KUHP dan UU No. 11/1980. Sebagai misal, pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima suap, menurut pasal 12 a UU No 20/2001 diancam pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 200 juta dan paling banyak satu miliar rupiah.
Sebaliknya, bagi setiap orang yang memberikan suap kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara, diancam pidana penjara paling singkat satu tahun dan paling lama lima tahun atau pidana denda paling sedikit  Rp. 50 juta dan paling banyak Rp. 250 juta.
Apakah dengan ketentuan pidana, baik denda dan atau penjara yang tinggi atau berat, otomatis tindak pidana suap (korupsi)  berkurang di Indonesia? Jawabnya : Tidak ditemukan riset yang khusus untuk menemukan relasi pengaruh tinggi atau beratnya sanksi pidana terhadap berkurangnya tindak pidana suap (korupsi) di Indonesia.Tetapi fakta lain, menunjukkan ketentuan sanksi pidana yang berat sekalipun ,misalnya dalam tindak pidana narkotika, psikotopika, pembunuhan berencana, termasuk tindak pidana korupsi (suap), entoh kejahatan tetap terjadi dan dalam jumlah yang terus meningkat.
Bahkan, salah seorang pimpinan KPK, Haryono Umar dalam wawancara dengan radio "Suara Surabaya" mengatakan bahwa dalam penanganan kasus korupsi, tindakan suaplah yang paling sulit pembuktiannya dan paling banyak jumlah kasusnya.
Dari sinilah perlunya dipikirkan alternatif lain dalam penegakan hukum suap.Tulisan ini hendak mencoba mengajukan satu tawaran alternatif penegakan hukum suap dengan pendekatan moral agama.
Sebagaimana dikonstatasi Harkristuti Harkrisnowo (2003 ; 28)  bahwa “kondisi penegakan hukum di Indonesia saat ini ditengarai mendekati titik nadir, telah menjadi sorotan yang luar biasa dari komunitas dalam negeri maupun internasional. Proses penegakan hukum , pada khususnya, acap dipandang bersifat diskriminatif, inkonsisten, dan mengedepankan kepentingan kelompok tertentu…”
Setidak-tidaknya  terdapat lima alasan mengapa hukum di Indonesia sulit ditegakkan ? Pertama, aparat penegak hukum terkena sangkaan dan dakwaan korupsi atau suap. Kedua, mafia peradilan marak dituduhkan; Ketiga, hukum seolah dapat dimainkan, dipelintirkan , bahkan hanya berpihak kepada mereka yang memiliki status sosial yang tinggi ; Keempat, penegakan hukum lemah dan telah kehilangan kepercayaan masyarakat; Kelima, masyarakat apatis, mencemooh dan melakukan proses peradilan jalanan (Hikmahanto Juwana, Dies Natalis ke-56 Universitas Indonesia, 2006).
Hasil riset yang dilakukan Soerjono Soekanto (1978 : 534), ditemukan lima faktor yang menentukan efektifitas penegakan hukum, antara lain sebagai berikut : (1) pemberian teladan kepatuhan hukum oleh aparat penegak hukum ; (2)sikap lugas dan tegas (zakelijk) dari para penegak hukum ; (3)penyesuaian peraturan yang berlaku dengan perkembangan teknologi mutakhir ; (4) penyuluhan mengenai keberadaan peraturan  yang berlaku terhadap masyarakat ; dan (5) memberi waktu yang cukup bagi masyarakat untuk memahami peraturan yang baru dibuat.
Menurut saya, satu hal penting yang perlu dicatat dan dielaborasi  dari hasil penelitian Soerjono Soekanto tersebut adalah pemberian teladan kepatuhan hukum oleh aparat penegak hukum . Dalam bahasa agama disebut ; adanya uswatun hasanah (contoh yang baik) oleh aparat penegak hukum dan aparat birokrat. Dalam bahasa lain dapat dirumuskan dengan kalimat :  “  satunya kata dengan tindakan”.
Dalam suatu kesempatan  Rasulullah Muhammad SAW di hadapan para sahabat mengatakan bahwa beliau akan memotong sendiri, andai putrinya Fatimah melakukan pencurian. Sungguh contoh yang luar biasa.Keberanian sekaligus ketegasan seorang pemimpin terhadap tidak saja kepada rakyatnya, juga kepada putrinya sendiri.

Dalam salah satu tulisannya - Baharuddin Lopa  (2000, 82) pernah mengatakan : “Dalam mencegah dan memberantas korupsi (suap), tidak terlalu banyak penyampaian kata-kata, cukup sikap kita yang terpuji yang dilihat oleh sesama dan jajaran kita untuk dijadikan teladan. Satu tingkah laku yang positif yang diperlihatkan oleh atasan kepada bawahan,  jauh lebih efektif daripada 2000 kata
Berbicara keteladanan aparat penegak hukum, sejatinya  berbicara soal integritas dan moralitas aparat penegak hukum . Berkaitan hal tersebut , terdapat adagium dalam bahasa latin  berbunyi : quid lege sine moribus  ? Apa artinya hukum kalau tidak disertai moralitas aparat penegak hukum ? Dalam kaitan antara moralitas, budaya malu,  dan keteladanan aparat penegak hukum; Baharuddin Lopa (2001, 82) juga membuat deskripsi yang menarik sebagai berikut :
Dalam membicarakan persoalan integritas moral tak dapat dipisahkan budaya malu yang dimiliki oleh seseorang. Mengapa ? Karena tidak mungkin seseorang tidak merasa malu melakukan perbuatan tidak terpuji,kalau ia bermoral sebagaimana diajarkan oleh agama (Islam), karena malu adalah sebagian dari iman (moral). Hanya orang yang bermoral yang malu melakukan perbuatan tidak terpuji tersebut. Mereka tidak melakukan perbuatan tidak terpuji, bukan karena takut ditangkap atau dihukum, tetapi karena malu kepada sesama, terutama malu dan takut kepada Allah. Orang yang berkepribadian seperti inilah yang mampu menjadi teladan. Sedangkan unsur keteladanan ini sangat mutlak dimiliki oleh kalangan atas agar dapat dicontoh dan diikuti oleh seluruh jajarannya”.

Di seberang yang lain, terdapat contoh baik (best practices) yang perlu disosialisasikan, disebarluarkan, dihayati dan diamalkan oleh setiap insan penegak hukum. Yakni  Ikrar Anti-suap yang dikumandangkan oleh Asosiasi advokat Indonesia Jakarta, pada tanggal 1 Februari 2002, yang pada pokoknya menyerukan  ikrar sebagai berikut :
(1)     Dalam menjalankan tugas profesi, kami selaku advokat, tidak akan melakukan dan/atau memberikan toleransi terhadap perbuatan-perbuatan tidak terpuji yang tergolong ke dalam tindakan suap dalam bentuk apapun;
(2)     Kami menyerukan kepada sesama rekan advokat selain AAI, agar tidak melakukan perbuatan-perbuatan tidak terpuji yang tergolong ke dalam tindakan suap dalam bentuk apapun;
(3)     Kami menyerukan agar semua pejabat yang bertugas di bidang penegakan hukum, seperti polisi, jaksa, dan hakim untuk juga tidak melakukan dan/atau tidak memberikan toleransi terhadap perbuatan yang tidak terpuji yang tergolong ke dalam tindakan suap dalam bentuk apapun;
(4)     Kami menyerukan agar pihak DPR, Pemerintah dan lembaga-lembaga  Negara yang lain untuk memberikan komitmen antisuap dan mempraktekkannya dalam menjalankan tugas maupun dalam melaksanakan kehidupan sehaari-hari.
(5)     Kami menyerukan agar Presiden, Wakil Presiden dan para menteri agar mempunyai political will dan political action yang jelas untuk memberantas semua bentuk tindakn suap-menyuap;
(6)     Kami mendesak agar pihak yang berwenang di bidang hukum untuk menjatuhkan sanksi seberat-beratnya sesuai hukum yang berlaku kepada siapapun yang terbukti terlibat di dalam praktek suap;
(7)     Kami mengajak semua komponen bangsa dan semua lapisan masyarakat untuk ikut aktif terlibat di dalam melakukan kampanye antisuap di seluruh pelosok Indonesia.

Pada intinya Ikrar Antisuap tersebut menyerukan kepada aparat penegak hukum (polisi, jaksa, hakim, advokat), DPR, pemerintah, menteri, lembaga-lembaga negara yang lain, presiden/wapres, dan semua komponan bangsa , untuk tidak melakukan dan/atau tidak memberikan toleransi terhadap perbuatan yang tidak terpuji yang tergolong ke dalam tindakan suap dalam bentuk apapun.
Bila deklarasi anti-suap tersebut tidak sebatas Ikrar, tapi betul-betul diejahwantahkan dalam praktek penegakan hukum dan pelayanan publik di bumi pertiwi ini, dalam jangka panjang , seperti harapan kita bersama , Insya Allah dapat tercipta pemerintahan yang bersih dari suap (korupsi), sehingga tercipta kesejahteraan, kemakmuran dan keadilan soal.
Sebagai catatan penutup, penulis mengutip pidato terakhir Rasulullah di depan umatnya di padang Arofah pada saat haji wada’ atau pemungkas)  , yang merupakan bukti nyata kecintaan Nabi Muhammad terhadap keadilan, sebagai bahan renungan kita bersama:
Wahai manusia ! Perhatikan kata-kata ini, barangkali aku tidak akan bersamamu lagi setelah tahun ini dengan kalian, di tempat ini. berlakulah adil dan manusiawi di antara kalian. Harta dan jiwa kalian masing-masing adalah suci tidak dapat diganggu oleh orang lain.Beriman merupakan kewajiban setiap orang dan kalian pasti akan menghadap Tuhan, pada waktu itu kalian diminta pertanggungjawaban atas segala perbuatanmu. Kalian harus membimbing mereka dengan penuh kepercayaan. Wahai manusia! Dengarlah kata-kataku  dan ingatlah. Telah kuberikan segalanya. Aku telah tinggalkan hukum yang harus kalian pertahankan dan jalankan dengan sebaik-baiknya, Al Qur’an dan hadits “.






Hufron, SH.MH.,
Dosen , Praktisi Hukum & Kandidat Doktor Ilmu Hukum Univ. Brawijaya Malang
HP : 081-2352-9300.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar