Senin, 07 Desember 2009

PRAPERADILAN, KENDALA, DAN SOLUSINYA

“Dalam suatu perjalanannya ke Mesir, seorang pollsi (dari Indonesia) melihat kerumunan para ahli Arkeologi yang sedang kesulitan meneliti usia mumi. Dengan sikap tanpa ragu, sang polisi mendekati mumi. Hanya dalam beberapa menit, dia sudah bisa menyebutkan secara tepat usia mumi tersebut, termasuk tahun, bulan dan harinya. Tentu saja, para ahli Arkeologi pada keheranan, bagaimana seorang polisi secara cepat dapat menentukan usia mumi. Dengan santai sang polisi menjawab, Cukup saya gebuk, dia mengaku”

Joke (anekdot) di atas, menjelaskan bahwa proses pemeriksaan oleh aparat penegak hukum. tidak jarang masih menggunakan prinsip “tangkap dulu, peras pengakuan, halalkan semua cara untuk mempero leh pengakuan". sebagai warisan jaman HIR, produk kolonial Belanda yang sudah tidak, sejalan dengan alam KUHAP (Kitab Undang Undang -Hukum Acara Pidana) sebagai karya agung bangsa Indonesia yang mem perdendangkan irama yang bertemaklin mengangkat derajat kemanusiaan dan tidak boleh menelanjangi hak asasi yang melakat pada diri tersangka atau terdakwa.
Salah satu faktor yang sering menghanyutkan aparat penegak hukum semakin jauh dari cita-cita dan amanat KUHAP adalah penyakit "keangkuhan kekuasaan" (the arrogance of power, yang antara lain, meliputi :
Pertama, berperilaku overacting ialah perilaku yang menafsirkan sesuatu menurut kemanan dan selera sendiri. Pejabat yang congkak lebih suka menonjolkan dan mengedepankan emosionalnya ketimbang rasionalitas dalam berbicara, bersikap dan bertindak.
Kedua, tidak segan-segan melakukan perbuatan tercela dan menyalahgunaan kekuasaan untuk mengejar kepentingan pribadi. Berani menyalahkan yang benar dan membenarkan yang saiah tanpa ragu, asal menguntungkan pribadinya. Manifestasinya bisa berbentuk komersialisasi jabatan, suka mempersulit setiap urusan, acuh tak acuh dan bekerja seenaknya tanpa memperhatikan kepentingan hak orang lain, serta menilai dirinya sebagai manusia istimewa yang harus ”disembah” dan diperlakukan secara khusus oleh setiap orang yang berurusan kepadanya (M.Yahya Harahap, Penerapan KUHAP).
Dia lupa bahwa mereka yang dihadapi adalah manusia sebagaimana dirinya, yang memiliki jiwa, perasaan dan pikiran yang harus dihormati dan dijunjung tinggi. Atau dengan kata lain bahwa aparat penegak hukum itu sendiri tidak lain adalah "just another people".
Di sisi lain, hukum pidana sebagai seperangkat norma melegitimasi aparat penegak hukum untuk melakukan tindakaan represive (penekanan terhadap hak-hak asasi warga rnasyarakat, antara lain seperti; rnenangkap, menahan, menyita barang, menyidik dan upaya paksa lainnya yang menghilangkan kebebasan manusia), namun hendaknya selalu berdasarkan ketentuan Undang Undang, maka demi kepentingan perlindungan hak-hak tersangka/terdakwa, KUHAP yang diundangkan 31 Desember 1982 mengatur dan menawarkan lembaga baru yang dinamakan Praperadilan.
Pengertian Praperadilan secara Yuridis dapat dilihat dari ke¬tentuan pasal 1 butir 10 KUHAP yang berbunyi : Praperadilan adalah wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini, tentang :
a. sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka;
b. sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penuntutan atas parmintaan demi tegaknya hukum dan keadilan;
c. permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan.

Menurut Abdul Hakim Garuda Nusantara dalam makalah yang berjudul "Praperadilan Dan Hak Asasi Manusia" (1991), dengan muatan wewenang seperti tersebut di atas, lembaga Praperadilan tidak saja dimaksudkan untuk melindungi hak asasi warga negara,tetapi juga untuk checks and balance (saling mengontrol) di antara sesama aparat nega¬ra (polisi dan jaksa), sehingga dapat dihindari penyalahgunaan kekuasaan yang justru menghambat proses peradilan pidana yang bersih, jujur, dan bertanggungjavvab sebagaimana yang telah digariskan oleh Undang-undang.
Dengan adanya lembaga Praperadilan ini seseorang warga masyarakat biasa, apabila merasa hak-hak asasi dilanggar oleh aparat pene¬gak hukum (polisi dan jaksa) tanpa ragu lagi dapat menyeret aparat tersebut ke muka pengadilan atas tuduhan telah menggunakan kekuasaannya secara sewenang-wenang.
Berbicara tentang praperadilan adalah berbicara hak warga negara. Ketika pertama kali didengungkan, ia terasa sebagai sebuah harapan yang menyenangkan. Betapa tidak, Bukankah praperadilan pa¬da hakekatnya adalah sebagai alat kontrol "kesewenangan" yang dilakukan oknum aparat penegak hukum ?
Apakah harapan itu memang benar-benar berwujud harapan,tentu perlu dilihat dari kenyataan yang muncul dalam praktek praperadi¬lan itu sendiri. Ada sementara kalangan yang mengatakan bahwa prak¬tek praperadilan sangat jauh berbeda dengan norma yang tertera dalam KUHAP.
Dari berbagai permohonan praperadilan yang rontok di meja hijau seakan memberi gambaran yang memperkuat pendapat di atas. Dengan banyaknya permohonan praperadilan yang rontok di persidangan, muncullah komentar dari berbagai pihak.
Pengacara Suharyono menengarai adanya koordinasi terselubung antara aparat terkait sebagai biang keladi gagalnya gugatan prape¬radilan. Aparat terkait yang dimaksud adalah pengadilan, kejaksaan dan kepolisian. Selama ini proses peradilan selalu dicampuri oleh pihak-pihak tertentu, termasuk dalam kasus praperadilan. Campur tangan inilah yang mengakibatkan praperadilan selalu menemui jalan buntu.
Dalam praperadilan keutuhan korps sangat dipertahankan, Sehingga bisa saja pengadilan ikut "menyelamatkan" korpsnya, kepolisian dan kejaksaan yang dipraperadilankan. Walaupun para petinggi hukum sudah berulang kali menegaskan tidak adanya ”budaya telepon” dalam proses peradilan, Suharyono menilai hal itu berbeda dengan kenyataan yang ada.
Kalau masih ada "dering telepon" ketika kasus sedang ditangani, maka pelaksanaan pemeriksaan sidang praperadilan akan tersendat-sendat, meskipun permohonan yang diajukan sudah cukup kuat.
Untuk itu, Suharyono mengingatkan perlu dihilangkannya ”koordinasi terselubung” antara pengadilan, kejaksaan dan kepolisian. Karena koordinasi terselubung itu akan membatasi hakim dalam memutus perkara. (Jawa Pos,2-11-'90)
Senada dengan pendapat di atas, Abdul Hakim Garuda Nusantara Ketua Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pusat mengatakan munculnya lembaga MAHKEJAPOL (Mahkamah Agung, Kejaksanaan, Kepolisian) merupakan petunjuk dan bahkan telah melumpuhkan fungsi dari lembaga Praperadilan, Yang berlaku bukan fungsi checks and balance (saling kontrol) di antara sesama aparatur penegak hukum, tetapi fungsi hukum "tepo-seliro" sesama aparatur negara penegak hukum.
Menurut penulis lembaga MAHKEJAPOL sebenarnya adalah mekanisme atau sistem koordinasi antar aparat penegak hukum yang dapat memperlancar dan mempermudah pelaksanaan penegakan hukum di Indonesia, asal jangan bersifat basa-basi yang diganduli oleh keseganan dan timbang rasa antar sesama aparat penegak hukum. Jika sifat ini yang menonjol, hilanglah obyektivitas tujuan yang baik di atas, dan akan berubah menjadi suatu bentuk kerja sama untuk saling menghalalkan segala cara yang sengaja mereka buat.
Jika demikian yang terjadi, maka benar sinyalemen Abdul Hakim di atas, bahwa lembaga MAHKEJAPOL akan melumpuhkan fungsi praperadi¬lan dan yang berlaku adalah fungsi hukum "tepo seliro".
Tentang gagalnya mayoritas permohonan praperadilan, Humas PN Su¬rabaya, JMT Simatupang mengakuinya. Tetapi hal itu tidak bisa dikatakan akibat adanya campur tangan pihak luar dalam masalah peradilan. Menurutnya, memang masyarakat belum betul-betul paham dengan alasan -alasan praperadilan. Kalaulah pemohon mempersiapkan permohonan prape¬radilan secara tepat dan benar, ia yakin permohonannya akan berhasil.
la lantas memperkuat pendapatnya dengan mengambil contoh kasus praperadilan yang ditangani hakim Soenyoto,SH. Dalam putusannya hakim mengabulkan sebagian permintaan pemohon dan polisi diperintahkan untuk menurunkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3).
Sependapat dengan tengaraan JMT Simatupang, pengacara Gede, SH. yang sudah lebih empat kali memenangkan praperadilan di luar surabaya mengatakan "kegagalan praperadilan selama ini sebagai akibat kurang jelinya pemohon praperadilan akan alasan-alasan yang dapat dimohonkan praperadilan". Kalau kita bisa memanfaatkan pasal 77 sampai 83 KUHAP, Gede S.H. yakin kita akan berhasil.
Bertitik tolak dari uraian di atas, ternyata kelemahan prape¬radilan tidak hanya terlihat pada aparat penegak hukum yang terkait dengan masalah itu, melainkan juga warga rnasyarakat sendiri masih lemah dalam memanfaatkan lembaga praperadilan.
Kondisi tersebut menurut Sbsiolog, Prof. Soetandyo Wignyosoebroto menunjukkan bahwa tegaknya lembaga praperadilan atau sempurnanya pelaksanaan KUHAP tidak hanya bergantung pada aparat penegak hukum, tetapi juga pada masyarakat.
Disini ibarat sebuah termometer - aparat penegak hukum itu alatnya, sedangkan masyarakat adalah suhu udaranya. Jadi kalau mau mengubah panas termometer, jangan hanya diutak-utik air raksanya, tetapi harus juga berubah suhunya, demikian analogi Soetandyo (Jawa-Pos, 11-1-1991).
Di sisi lain, menurut pasal 82 ayat 1 d KUHAP ditegaskan bahwa :
dalam hal suatu perkara sudah mulai diperiksa oleh pengadilan negeri, sedangkan pemeriksaan mengenai permintaan kepada praperadilan belum selesai, maka permintaan tersebut gugur.
Kalau proses praperadilan belum selesai, gugur atas dasar alasan teknis, karena perkara pidana pokok sudah mulai disidangkan, bukan atas alasan yang prinsipil, maka tujuan praperadilan menjadi kabur dan kehilangan makna.
Menurut Harjono Tjitrosoebono, pemeriksaan perkara pidana pokok oleh pengadilan seharusnya menunggu sampai selesainya pemerik¬saan praperadilan, dan tidak sebaliknya proses peradilan menjadi gugur sebelum selesai, sehingga permasalahan hukum pada pemeriksaan seperti dimaksud pasal 77 KUHAP menjadi tidak terjawab, ini merugikan tersangka, citra hukum , dan keadilan.
Dalam praktek sering terjadi, pengajuan permohonan praperadilan oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka mengenai sah tidaknya penangkapan atau penahanan, sebelum pemeriksaan praperadilan selesai menjadi gugur, karena perkara pidana pokok sudah mulai disidangkan. Sehingga berakibat tersangka tetap dalam tahanan, sedangkan kemungkinan praperadilan akan memberi putusan penangkapan atau penahanan tersebut adalah tidak sah (S. Tanusubroto, 1983: 81-82).
Prof. R. Subekti, pernah mengatakan sekiranya adalah lebih tepat bila pemeriksaan perkara pidana pokok itu menunggu selesainya pemeriksaan praperadilan yang oleh undang-undang ton sudah dibatasi waktunya untuk paling lama 7 hari (Prof. R. Subekti, Perlindungan Hak Asasi Manusia dalam KUHAP, 1984).
Penulis sependapat dengan dua pendapat sarjana di atas, karena jika proses pemeriksaan praperadilan gugur hanya karena masalah teknis saja, maka akan mudah untuk menggagalkan permohonan prapera¬dilan, yakni segera masukkan perkara pidana pokoknya ke pengadilan , maka otomatis pemeriksaan praperadilan akan gugur.
Para aparat penegak hukum, polisi atau jaksa yang sudah menguasai benar aturan di atas, tentu saja akan tertawa atau ongkang-ongkang bila mendengar bahwa dirinya akan dipraperadilankan, soalnya sudah mempunyai “truf” untuk membebaskan dirinya dari masalah pra¬peradilan. Yakni mereka kerja ekstra untuk bisa cepat-cepat melimpahkan perkara pidana pokoknya ke pengadilan negeri, sehingga peme¬riksaan praperadilan yang sedang berjalan akan gugur.
Menurut penulis, pasal 82 ayat 1 d KUHAP terasa tidak serius, kalau tidak mau dikata "dagelan KUHAP" dalam praktek, yang sudah waktunya untuk ditinjau kembali, kalau tidak orang akan mengatakan lembaga praperadilan adalah "iming-iming" yang tak pernah terwujud dalam realita.
Akhirnya, kembali kepada pemerintah, badan legislatif, para politisi dan masyarakat untuk bersama-sama mempunyai itikad baik bertanggungjawab menghentikan proses mundur (regresi) perkembangan hukum kita. Semoga.

Hufron, SH., MH.

Dosen , Praktisi Hukum di Surabaya & Kandidat Doktor Ilmu Hukum Univ. Brawijaya Malang

email : hufronsby@yahoo.com

HP : 081.2352.9300


2 komentar:

Anonim mengatakan...

Saya jg sebenarnya setuju dengan pendapat pak hufron...

tp saya baca literatur dari bapak yahya harahap, disebutkan bahwa gugurnya praperadilan tidak mengurangi adanya kepastian hukum di KUHAP, karena praperadilan bisa diajukan lagi pada proses selanjutnya..

gimana menurut pendapat bapak..?

Sutomo mengatakan...

Artikel bermanfaat. Terima kasih sharingnya. Hanya menurut saya, pembentukan Mahkumjakpol keliru dalam dua hal: 1. tidak melibatkan unsur advokat d.h. Peradi sebagai salah satu unsur penegak hukum sesuai undang-undang; 2. Harusnya pengadilan (Mahkamah Agung) tidak masuk dalam forum demikian, alasannya (i) pengadilan akan terlihat tidak independen walaupun forum itu sendiri hanya bersifat koordinasi dan konsultasi administratif, (ii) pengadilan akan rawan diintervensi dalam bentuk konsultasi bukan soal administratif tapi soal perkara oleh penyidik, penuntut umum ke hakim, sedangkan hakim yang akan menyidangkan perkara ybs sehingga rawan konflik dan kolusi.

Posting Komentar