Kamis, 10 Desember 2009

Politik Hukum Pemberantasan Korupsi


Untuk menjawab pertanyaan : kapan hukum determinan atas politik atau sebaliknya,  politik determinan atas hukum ? Moh. Mahfud MD., mengajukan jawaban yang bersifat hipotetis sebagai berikut : “konfigurasi politik yang demokratis senantiasa melahirkan produk hukum yang berkarakter responsif, sedangkan konfigurasi politik yang otoriter melahirkan produk hukum yang berkarakter konservatif.”
Berbicara hubungan hukum dan politik atau sebaliknya politik dengan hukum, tidak bisa dilepaskan dengan disipilin Politik hukum. Politik hukum adalah :  “ suatu dasar kebijaksanaan yang menjadi landasan bagi pelaksanaan dan penerapan hukum yang bersangkutan “ (A. Ridwan Halim), begitu juga Padmo Wahyono menjelaskan politik hukum adalah kebijakan dasar yang menentukan arah, bentuk dan isi dari hukum yang akan dibentuk, diterapkan  dan ditegakkan.
Lalu, bagaimana politik hukum atau latarbelakang filosofis, yuridis, historis dan sosiologis lahirnya Undang Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi?
Mengingat korupsi di Indonesia terjadi secara sistematik dan meluas sehingga tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga telah melanggar hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas, maka pemberantasan korupsi perlu dilakukan dengan cara luar biasa.  Antara lain penerapan sistem pembuktian terbalik yakni pembuktian yang dibebankan kepada terdakwa.
Di samping itu, Undang Undang yang baru juga memperluas ketentuan  mengenai sumber perolehan alat bukti yang sah yang berupa petunjuk. Dirumuskan mengenai "petunjuk" selain diperoleh dari keterangan saksi, surat, dan keterangan terdakwa, juga diperoleh dari alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu tetapi tidak terbatas pada data penghubung elektronik (electronic data interchange), surat elektronik (e-mail), telegram, teleks, dan faksimili. Petunjuk juga dapat diperoleh dari dokumen, yakni setiap rekaman data atau informasi yang dapat dilihat, dibaca dan atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas, maupun yang terekam secara elektronik, yang berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka, atau perforasi yang memiliki makna.
            Pula, diatur mengenai hak negara untuk mengajukan gugatan perdata terhadap harta benda terpidana yang disembunyikan atau tersembunyi dan baru diketahui setelah putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap. Harta benda yang disembunyikan atau tersembunyi tersebut diduga atau patut diduga berasal dari tindak pidana korupsi. Gugatan perdata dilakukan terhadap terpidana dan atau ahli warisnya. Untuk melakukan gugatan tersebut, negara dapat menunjuk kuasanya untuk mewakili negara.
            Dalam UU yang baru juga diatur mengenai maksimum pidana penjara dan pidana denda bagi tindak pidana korupsi yang nilainya kurang dari Rp. 5.000.000,00 (lima juta rupiah). Ketentuan ini dimaksudkan untuk menghilangkan rasa kekurangadilan bagi pelaku tindak pidana korupsi, dalam hal nilai yang dikorup relatif kecil.
            Dapat ditarik kesimpulan , sebenarnya UU Pemberantasan Korupsi yang baru telah mengatur cara-cara luar biasa pemberantasan korupsi (extra-ordinary) di Indonesia meliputi :  penerapan sistem pembuktian terbalik, perluasan mengenai sumber perolehan alat bukti yang sah yang berupa petunjuk, hak negara untuk mengajukan gugatan perdata terhadap harta benda terpidana, pidana denda yang lebih tinggi, dan ancaman pidana mati yang merupakan pemberatan pidana, pidana penjara bagi pelaku tindak pidana korupsi yang tidak dapat membayar pidana tambahan berupa uang pengganti kerugian negara, serta   ditetapkannya  ancaman pidana minimum khusus.
Apabila disandingkan / dibandingkan Undang Undang Pemberantasan Tindak Korupsi Nomor . 3 tahun 1971 dan Undang undang Nomor  31 tahun 1999 dengan undang undang Nomor 20 tahun 2001, maka UU yang baru memiliki setidaknya  memiliki 10 (sepuluh) keunggulan, yaitu ;
  1. Dalam Undang Undang No. 20 tahun 2001 tindak pidana korupsi dirumuskan secara formal (delik formal), bukan delik materiil. Sehingga pengembalian kerugian keuangan negara tidak menghapuskan penuntutan terhadap terdakwa ;
  2. Dalam Undang Undang ini subyek hukum tidak hanya perorangan, tetapi juga termasuk korporasi;
  3. Pengaturan wilayah keberlakuan / yurisdiksi kriminal dapat diberlakukan di luar batas teritorial Indonesia;
  4. Pengaturan tentang sistem  pembuktian terbalik atau berimbang atau ”balanced burden of proof”.
  5. Pengaturan pidana minimum khusus, di samping ancaman pidana maksimal ;
  6. Ancaman pidana mati sebagai unsur pemberatan ;
  7. Pengaturan tentang penyidikan  gabungan dalam perkara tindak pidana korupsi yang sulit pembuktiannya di bawah koordinasi jaksa agung;
  8. Pengaturan tentang penyidikan dalam kaitan dengan rahasia  bank yang lebih luas dengan diawali dengan pembekuan rekening tersangka, dilanjutkan penyitaan;
  9. Pengaturan tentang peranserta masyarakat  sebagai sarana kontrol sosial dipertegas dan diperluas, sehingga perlindungan hukum terhadap saksi pelapor lebih optimal dan efektif (mirip dengan whistle blower act);
  10. Mengamanatkan pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang bersifat independent, yang keanggotaannya terdiri unsur pemerintah dan masyarakat, serta pengangkatannya mendapat persetujuan DPR.
Sepuluh karakteristik pengaturan hukum formil maupun meteriil dalam Undang Undang No. 20 tahun 2001, adalah perubahan sangat mendasar dibanding Undang Undang pemberantasan Korupsi sebelumnya, di samping hal tersebut menunjukkan politik hukum yang sungguh-sungguh dari pemerintah reformasi  dalam pemberantasan korupsi. Dalam pelaksanaannya Undang Undang ini, yang diperan-aktori oleh KPK telah berhasil mengungkap dan membongkar beberapa kasus korupsi yang besar, seperti korupsi di tubuh KPU, korupsi Dana Abadi Umat (DAU) di departemen Agama, praktek penyuapan di MA, korupsi di perlemen, baik di pusat maupun di daerah,  korupsi di departemen kesehatan , dan sebagainya.
Dengan demikian , politik hukum yang terkandung dalam Undang undang No. 20 tahun 2001, dapat dipahami sebagai kesungguhan pemerintah dan parlemen dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi dengan membentuk Undang Undang yang memiliki 10 (sepuluh)  keunggulan sebagaimana terurai di atas. Ditambah lagi dengan dibentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai badan khusus yang memiliki berbagai kewenangan penyidikan dan penuntutan  tindak pidana korupsi, sebagai amanah dari pasal 43 Undang Undang No. 20 tahun 2001.Maka selanjutnya untuk efektifitas dan efisien pemberantasan korupsi di Indonesia, perlu didukung dengan Undang undang yang pengadilan khusus tindak pidana korupsi (pengadilan tipikor)  yang bersifat independen, profesional, jujur dan adil.
Jika alur pikirnya konsisten dan konsekuen, bahwa tindak pidana korupsi adalah extra ordinary crime (kejahatan luar biasa), maka pemberantasannya juga memerlukan cara-cara yang luar bisa (hukum materiil dan formil yang luar biasa) , termasuk penyidik dan penuntut umum yang memiliki kewenangan luar biasa (seperti KPK) , serta pengadilan khusus yang profesional memeriksa dan memutus tindak pidana korupsi (pengadilan tipikor) . Sehingga politik hukum yang terkandung dalam Undang undang No. 20 Tahun 2001, memiliki ”roh” untuk memberikan dorongan, semangat,  relevansi dan  urgensi serta efektifitas dalam penegakan hukum tindak pidana korupsi. Jika tidak, Undang undang No. 20 Tahun 2001, akan menjadi macan ompong atau kertas mati (black letter dead) saja . Semoga hal ini menjadi renungan kita bersama pada Hari Peringatan dan Perayaan Anti Korupsi Dunia Tanggal 9 Desember 2009.  
Hufron, SH.MH.,
Dosen , Praktisi Hukum & Kandidat Doktor Ilmu Hukum Univ. Brawijaya Malang
HP : 081-2352-9300.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar