Minggu, 27 Desember 2009

REKOMENDASI TIM 8

EXECUTIVE SUMMARY

PENDAHULUAN

Proses hukum terhadap Chandra M. Hamzah (selanjutnya disebut “Chandra”) dan Bibit Samad Rianto (selanjutnya disebut “Bibit”) menjadi isu strategis di masyarakat karena menimbulkan kecurigaan adanya rekayasa terhadap proses hukum tersebut.
Untuk menjawab kecurigaan tersebut, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, pada tanggal 2 November 2009, menerbitkan Keputusan Presiden No. 31 Tahun 009 tentang Pembentukan Tim Independen Verifikasi Fakta dan Proses Hukum atas Kasus Sdr. Chandra M. Hamzah dan Sdr. Bibit Samad Rianto (selanjutnya disebut “Tim 8”).
Tim 8 bertugas untuk melakukan verifikasi fakta dan proses hukum atas Kasus Chandra M. Hamzah dan Bibit Samad Rianto. Jangka waktu yang diberikan untuk mengumpulkan fakta dan melakukan verifikasi adalah 14 hari kerja, dan dapat iperpanjang jika diperlukan. Tim 8 juga berwenang untuk berkoordinasi dengan berbagai instansi pemerintah dan memanggil pihak-pihak yang dianggap terkait dengan penanganan kasus ini.
Dalam melaksanakan tugasnya, Tim 8 memverifikasi pihak-pihak yang terkait kasus Chandra dan Bibit, serta melakukan gelar perkara atas kasus tersebut. Terdapat beberapa temuan yang pada intinya menyangkut:
a. dugaan adanya praktik mafia hukum, sebagaimana terindikasi dalam rekaman penyadapan pembicaraan Anggodo Widjojo dengan pihak-pihak tertentu yang diputar dalam sidang di Mahkamah Konstitusi pada tanggal 3 November 2009;
b. Antasari Azhar berinisiatif untuk membuka dugaan suap terhadap pimpinan KPK, melalui testimoni yang dibuatnya dan membuat Laporan Pengaduan kepada polisi;
c. Adanya potensi benturan kepentingan pada tahap penyidikan perkara Chandra dan Bibit, antara Susno Duadji sebagai pribadi yang tersadap KPK, dengan jabatannya selaku Kabareskrim. Hasil sadapan telepon tersebut antara lain pembicaraan Susno Duadji dengan Lucas, terkait upaya pencairan dana milik Budi Sampoerna di Bank Century.
Berdasarkan verifikasi tersebut, Tim 8 menyimpulkan dan merekomendasikan hal-hal sebagai berikut:
KESIMPULAN
1. Proses Hukum Chandra dan Bibit:
a. Pada awalnya, proses pemeriksaan terhadap dugaan adanya penyuapan dan/atau pemerasan dalam kasus Chandra dan Bibit adalah wajar (tidak ada rekayasa) berdasarkan alasan-alasan:
1) Testimoni Antasari Azhar
2) Laporan Polisi oleh Antasari Azhar
3) Rekaman pembicaraan Antasari Azhar dengan Anggoro di Singapura di Laptop Antasari Azhar di KPK
4) Keterangan Anggodo tanggal 7 Juli 2009
5) Keterangan Anggoro tanggal 10 Juli 2009 di Singapura
6) Keterangan Ari Muladi.
b. Dalam perkembangannya Polisi tidak menemukan adanya bukti penyuapan dan/atau pemerasan, namun demikian Polisi terlihat memaksakan dugaan penyalahgunaan wewenang oleh Chandra dan Bibit dengan menggunakan:
1) Surat pencegahan ke luar negeri terhadap Anggoro;
2) Surat pencegahan dan pencabutan cegah keluar negeri terhadap Djoko Tjandra.
c. Polri tidak memiliki bukti yang cukup untuk mendakwa Chandra dan Bibit atas dasar penyalahgunaan wewenang berdasarkan Pasal 23 UU Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 421 KUHP dan pemerasan berdasarkan Pasal 12 (e) Undang-undang Tindak Pidana Korupsi serta percobaannya berdasarkan Pasal 15 UU Tindak Pidana Korupsi.
d. Dalam gelar perkara tanggal 7 Nopember 2009, Jaksa Peneliti Kasus Chandra dan Bibit juga menilai bahwa bukti-bukti yang diajukan oleh penyidik masih lemah.
e. Aliran dana dari Anggodo Widjojo ke Ari Muladi terputus dan tidak ada bukti yang menyatakan uang tersebut sampai ke tangan pimpinan KPK.
2. Profesionalisme Penyidik dan Penuntut
Tim 8 berkesimpulan profesionalisme penyidik dari Kepolisian dan penuntut dari Kejaksaan sangat lemah mengingat sangkaan dan dakwaan tidak didukung oleh fakta dan bukti yang kuat. Fenomena mengikuti ‘apa yang diinginkan oleh atasan’ dikalangan penyidik dan penuntut umum masih kuat, sehingga penyidik dan penuntut umum tidak bebas mengembangkan temuannya secara obyektif dan adil. Sehingga terkesan adanya rekayasa. Munculnya intruksi dari atasan tersebut, tidak terlepas dari danya benturan kepentingan pada atasan yang bersangkutan.
3. Makelar Kasus
Dalam proses verifikasi yang dilakukan oleh Tim 8, ditemukan dugaan kuat atas terjadinya fenomena Makelar Kasus (Markus). Fenomena ini tidak hanya ada di Kepolisian, Kejaksaan, ataupun Advokat, tetapi juga di KPK dan LPSK. Bahkan pada kasus lainnya, mafia hukum juga menjangkiti profesi notaris dan Pengadilan.
4. Institutional Reform
Tim 8 juga menemukan adanya permasalahan institusional dan personal di dalam tubuh kepolisian, kejaksaan, KPK, termasuk Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) sehingga menimbulkan disharmoni dan tidak efektifnya institusi-institusi tersebut dalam menjalankan tugas dan wewenangnya.
REKOMENDASI
Berdasarkan kesimpulan yang diperoleh, Tim 8 merekomendasikan kepada Presiden untuk :
1. Setelah mempelajari fakta-fakta, lemahnya bukti-bukti materil maupun formil dari penyidik, dan demi kredibilitas sistem hukum, dan tegaknya penegakan hukum yang jujur dan obyektif, serta memenuhi rasa keadilan yang berkembang di masyarakat, maka proses hukum terhadap Chandra M. Hamzah dan Bibit S. Rianto sebaiknya dihentikan. Dalam hal ini Tim 8 merekomendasikan agar:
a. Kepolisian menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) dalam hal perkara ini masih di tangan kepolisian;
b. Kejaksaan menerbitkan Surat Keputusan Penghentian Penuntutan (SKPP) dalam hal perkara ini sudah dilimpahkan ke kejaksaan; atau
c. Jika kejaksaan berpendapat bahwa demi kepentingan umum, perkara perlu dihentikan, maka berdasarkan asas opportunitas, Jaksa Agung dapat mendeponir perkara ini.
2. Setelah menelaah problematika institusional dan personel lembaga-lembaga penegak hukum dimana ditemukan berbagai kelemahan mendasar maka Tim 8 merekomendasikan agar Presiden melakukan:
a. Untuk memenuhi rasa keadilan, menjatuhkan sanksi kepada pejabat-pejabat yang bertanggung jawab dalam proses hukum yang dipaksakan dan sekaligus melakukan reformasi institusional pada tubuh lembaga kepolisian dan kejaksaan;
b. Melanjutkan reformasi institusional dan reposisi personel pada tubuh Kepolisian, Kejaksaan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Lembaga Perlindungan saksi dan Korban (LPSK) tentu dengan tetap menghormati independensi lembaga-lembaga tersebut, utamanya KPK.
Untuk mereformasi lembaga-lembaga penegak hukum tersebut diatas maka Presiden dapat menginstruksikan dilakukannya ‘governance audit’ oleh suatu lembaga independen, yang bersifat diagnostic untuk mengidentifikasi persoalan dan kelemahan mendasar di tubuh lembaga-lembaga penegak hukum tersebut.
3. Setelah mendalami betapa penegakan hukum telah dirusak oleh merajalelanya makelar kasus (markus) yang beroperasi di semua lembaga penegak hukum maka sebagai ‘shock therapy’ Presiden perlu memprioritaskan operasi pemberantasan makelar kasus (markus) di dalam semua lembaga penegak hukum termasuk di lembaga peradilan dan profesi advokat; dimulai dengan pemeriksaan secara tuntas dugaan praktik mafia hukum yang melibatkan Anggodo Widjojo dan Ari Muladi oleh parat terkait.
4. Kasus-kasus lainnya yang terkait seperti kasus korupsi Masaro; proses hukum terhadap Susno Duadji dan Lucas terkait dana Budi Sampoerna di Bank Century; serta kasus pengadaaan SKRT Departemen Kehutanan; hendaknya dituntaskan.
Setelah mempelajari semua kritik dan input yang diberikan tentang lemahnya strategi dan implementasi penegakan hukum serta lemahnya koordinasi di antara lembaga–lembaga penegak hukum maka Presiden disarankan membentuk Komisi Negara yang akan membuat program menyeluruh dengan arah dan tahapan-tahapan yang jelas untuk pembenahan lembaga-lembaga hukum, termasuk organisasi profesi Advokat, serta sekaligus berkoordinasi dengan lembaga-lembaga hukum lainnya untuk menegakkan prinsip-prinsip negara hukum, due proccess of law, hak-hak asasi manusia dan keadilan.




Selasa, 22 Desember 2009

Centurygate dan Impeachment Presiden / Wapres



Seorang sahabat yang menjadi anggota DPR RI bertanya  – kebetulan tahu saya sedang menyelesaikan disertasi tentang impeachment  Presiden dan atau Wapres di Indonesia – apakah kasus Bank Century (BC) / Centurygate bisa bermuara pada impeachment presiden dan atau wapres ? Bagaimana relevansi dan urgensi dari hak angket century terhadap impeachment presiden SBY dan /atau wapres Boediono?
Secara akademis saya jawab bisa, sepanjang memenuhi alasan maupun prosedur impeachment yang dipersyaratkan konstitusi. Sedangkan relevansi serta urgensi hak angket century  hanya sebagai pintu masuk (entry-point) dari proses panjang impeachment presiden dan atau wapres.
Sinyalemen demikian, tampaknya juga dicemaskan oleh Presiden SBY dalam pidatonya yang dikutip Kompas, 7 Desember 2009 : “Presiden menilai saat ini  telah terjadi fitnah dan pembunuhan karakter yang bertujuan untuk menggoyang bahkan menjatuhkan pemerintahan serta menjatuhkan nama baik Partai Demokrat –  yakni tudingan tentang aliran dana talangan Bank Century ke sejumlah kader Partai Demokrat ”.
Menurut saya makna frase “menggoyang dan menjatuhkan pemerintahan”, sejatinya sinomim  dengan makna impeachment kepala pemerintahan (presiden dan atau wakil presiden). Yang berarti, pemanggilan atau pendakwaan untuk meminta pertanggungjawaban atas persangkaan pelanggaran hukum yang dilakukan oleh Presiden dan atau Wakil Presiden dalam masa jabatan.
 Dalam Black’s Law Dictionary,  impeachment didefinisikan sebagai “A criminal proceeding against a public officer, before a quasi political court, instituted by a written accusation called ‘articles of impeachment’ ” (suatu proses pendakwaan pejabat publik di hadapan pengadilan semi politik /senat dilakukan dengan diajukan tuduhan tertulis yang disebut surat dakwaan dari impeachment.) Proses impeachment dimulai dengan adanya articles of impeachment  yang berfungsi sama dengan surat dakwaan dalam sistem peradilan pidana. Dengan demikian, articles of impeachment dapat dipahami sebagai surat resmi yang berisi tuduhan yang menunjukkan dimulainya suatu proses impeachment.
Nah, Jika tuntutan atau articles of impeachment terbukti, maka hukumannya adalah pemberhentian dari jabatan (removal from office)  atau pemakzulan. Pemakzulan presiden dan atau wapres  sama artinya dengan pemberhentian presiden dan atau wapres dalam masa jabatan.
Dalam konteks centurygate, kenapa impeachment ditujukan kepada Presiden SBY  dan atau Wapres Boediono? Menurut saya ditujukan kepada  wapres Boediono , karena pengambilan kebijakan dana talangan (bailout) BC diputus oleh Boediono yang pada saat itu menjabat sebagai Gubernur BI. Mengapa pula impeachment disasarkan kepada Presiden SBY ? Karena, bisa saja  kebijakan yang diambil oleh Gubernur BI dan Menteri Keuangan berkenaan dana talangan (bailout) BC saat itu  seijin atau mendapat persetujuan Presiden. Terlebih ditengarai pada saat rapat KSSK , dihadiri oleh Marsilam Simanjutak,  ketua UKP3R, yang notabene merupakan liaison antara Presiden SBY dengan KSSK.
 Jika tengara tersebut benar, sudah tentu hasil rapat KSSK telah dilaporkan kepada Presiden SBY oleh  Marsilam Simanjutak sebagai penerima mandat. Sebaliknya, jika tengara tersebut tidak benar, maka proses impeachment hanya bisa addressat to wapres Boediono.

Alasan  dan Prosedur Impeachment
Pasal  7B UUD 1945 ( perubahan ketiga)  menyebutkan alasan impeachment  presiden dan atau  wapres dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu alasan pelanggaran hukum dan pelanggaran administrasi. Pelanggaran hukum meliputi lima alasan yaitu makar, korupsi, pennyuapan, tindak pidana berat lainnya dan melakukan perbuatan tercela. Pelanggaran administrasi yaitu  presiden dan /atau wakil presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai  presiden dan atau wakil presiden.
Menurut saya – dari enam alasan dalam konstitusi – satu alasan yang relevan dengan kasus BC adalah pengambilan kebijakan dana talangan (bailout) BC terjadi -  karena ada indikasi penyalahgunaan wewenang, kesempatan atau sarana, atau kedudukan karena jabatan, sehingga merugikan keuangan negara atau perekonomian nasional.
Jika, pansus angket dengan kerja-keras dan kerja cerdasnya, bisa mengungkap dan membuktikan bahwa pengambilan kebijakan bailout BC terjadi lantaran adanya penyalahgunaan wewenang oleh pejabat yang berwenang , maka secara normatif, laporan pansus hak angket century, dapat dinaikkan atau dimajukan menjadi Hak Menyatakan Pendapat DPR.
Sebaliknya, jika pansus hak angket tidak mampu dan berhasil menelisik adanya penyalahgunaan wewenang oleh SBY sebagai Presiden dan Boediono sebagai Gubernur BI pada saat itu pengambilan kebijakan bailout  BC tersebut , maka laporan pansus angket century paling banter terumus sebagai berikut  :  ”Kebijakan berkaitan dengan  bailout BC tidak bertentangan dengan peraturan Perundang-undangan, usul hak angket dinyatakan selesai, dan materi angket tidak dapat diajukan kembali.”
Pada hakekatnya, kegagalan pansus angket century untuk mengungkap adanya penyalahgunaan wewenang dalam penerbitan kebijakan bailout  BC, selain karena aspek substansi masalah tidak dapat dibuktikan , tetapi dapat juga  karena aspek prosedural yakni quorum pengambilan keputusan rapat paripurna DPR mengenai laporan panitia angket.
Patut diketahui, keputusan rapat paripurna laporan panitia angket harus dihadiri lebih dari ½  jumlah anggota DPR dan putusan diambil dengan persetujuan lebih dari ½ jumlah anggota DPR yang hadir (pasal 182 ayat 3 UU No. 27/2009). Mengingat  jumlah anggota DPR RI saat ini adalah 560 orang, maka rapat paripurna harus dihadiri sekurang-kurangnya 281 orang anggota , dan putusan diambil dengan persetujuan 141 orang anggota DPR yang hadir.
Apabila diperhatikan konfigurasi perolehan suara partai di DPR untuk pemilu tahun 2009 , bisa saja pengambilan keputusan tersebut, tidak bisa mencapai quorum, manakala keputusan paripurna tersebut hanya didukung oleh partai ”oposisi” (PDIP, Gerindra, Hanura) yang hanya didukung 137 suara, sedangkan partai koalisi Domokrat (Golkar, PKS, PAN, PPP, dan PKB)  berjumlah 423 suara.
Sebagaimana diketahui, untuk dapat dilakukan impeachment presiden dan atau wapres, hak angket harus dilanjutkan atau dimajukan menjadi Hak Menyatakan Pendapat. Karena impeachment  presiden dan atau wapres dimulai dari adanya Hak Menyatakan Pendapat DPR bahwa presiden dan atau wapres melakukan pelanggaran hukum baik berupa makar, korupsi, penyuapan , tindak pidana berat lainnya maupun perbuatan tercela, serta presiden dan atau wapres tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden dan atau wapres.
Selanjutnya, DPR menyampaikan keputusan tentang Hak Menyatakan Pendapat tersebut kepada Mahkamah Konstitusi (MK). MK lebih lanjut akan memeriksa, mengadili dan memutus dugaan pelanggaran hukum tersebut paling lama 90 sejak diajukan permintaan.
Dalam hal, MK memutus pendapat DPR atas dugaan pelanggaran yang dilakukan presiden dan atau wapres tersebut terbukti, maka DPR menyelenggarakan rapat paripurna untuk meneruskan usul pemberhentian presiden dan /atau wapres kepada MPR. Sebaliknya, dalam hal MK memutuskan bahwa pendapat DPR atas dugaan pelanggaran tersebut tidak terbukti, usul pemberhentian presiden dan /atau wapres tidak dilanjutkan.
            Kendatipun demikian, perlu dicatat bahwa rapat paripurna DPR dapat menerima atau menolak laporan kerja pansus Hak Menyatakan Pendapat dengan syarat rapat dihadiri sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota DPR dan keputusan diambil dengan persetujuan sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota DPR yang hadir (pasal 187 ayat 3 dan 4 UU No. 27/2009).
Mengingat jumlah anggota DPR kita adalah 560 orang, maka rapat paripurna Hak Menyatakan Pendapat harus dihadiri sekurang-kurangnya 373 orang dan keputusan diambil  dengan persetujuan sekurang-kurangnya 249 orang. Sehingga, rapat paripurna tersebut dapat dipastikan akan menolak laporan kerja pansus Hak Menyatakan Pendapat , karena jumlah suara partai koalisi lebih mendominasi yaitu berjumlah 423 suara. Oleh karena itu, harapan untuk membawa ”centurygate” ke proses impeachment  presiden dan atau wapres Boediono, akan menjadi sia-sia belaka, jika suara mayoritas partai koalisi tetap solid dan tidak terfragmentasi .

Pemakzulan Presiden/Wapres
Sebagaimana disebutkan di atas, dalam hal MK memutus Pendapat DPR atas dugaan pelanggaran oleh presiden dan atau wapres tersebut terbukti, maka DPR menyelenggarakan rapat paripurna untuk meneruskan usul pemberhentian presiden dan atau wapres kepada MPR.
MPR akan mengadakan sidang paripurna untuk menentukan apakah presiden dan /atau wapres akan diberhentikan atau tetap dalam jabatan, dengan syarat rapat harus  dihadiri sekurang-kurangnya ¾  dari seluruh anggota MPR; dan keputusan disetujui sekurang-kurangnya   dari anggota MPR yang hadir. Dus, berarti sidang paripurna MPR memenuhi quorum apabila dihadiri ¾ dari seluruh jumlah MPR (692 orang ) yaitu 510 orang dan keputusan disetujui sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota MPR yang hadir (519 orang) yakni 346 orang.
Jumlah 346 anggota MPR tersebut juga masih lebih sedikit (kalah) dari jumlah total suara partai koalisi 423 orang. Maka harapan untuk dapat memberhentikan presiden dan /atau wapres Boediono, dengan memperhatikan peta politik di atas, menurut hemat saya relatif sulit, berliku dan melelahkan.Terkecuali suara koalisi pecah dan pecahan suara koalisi tersebut,  jika digabung dengan partai ”oposisi” bisa menjadi minimal 424 orang, maka keputusan MPR bisa menentukan lain.
Apabila diperhatikan prosedur impeachment presiden dan atau wapres di atas, jika dibandingkan dengan pemberhentian Presiden Soekarno dan Abdurrahman Wahid, dapat dikatakan lebih baik,  karena  melibatkan pihak ketiga, yaitu MK untuk memeriksa, mengadili dan memutus apakah dugaan pelanggaran hukum dan administrasi oleh Presiden dan /atau wapres  terbukti atau tidak secara yuridis.
Sayangnya,  putusan MK tersebut tidak memiliki kekuatan mengikat secara hukum(non-legal binding) . Artinya, meskipun putusan MK menyatakan dugaan atas pelanggaran hukum/administrasi terbukti, namun soal apakah selanjutnya presiden dan atau wapres diberhentikan atau tetap dalam jabatan, sangat tergantung kepada putusan politik  (politieke beslissing) di MPR.
Idealnya, memang posisi MK tidak berada di tengah, tetapi berada posisi di akhir proses impeachment, sehingga kedudukan dan fungsi MK menguji apakah keputusan politik untuk memakzulkan presiden dan atau wapres sudah tepat atau tidak secara yuridis, seperti dipraktekkan oleh MK Korea Selatan.

Dosen , Praktisi Hukum & Kandidat Doktor Ilmu Hukum Univ. Brawijaya Malang
HP : 081-2352-9300.










Kamis, 17 Desember 2009


Rabu, 16 Desember 2009

Suap dan Penegakan Hukumnya


(Suatu Pendekatan Keteladanan Sang Pemimpin)
Belakangan istilah yang sering disebut atau dikutip oleh media, selain istilah korupsi adalah istilah suap. Terlebih setelah terjadi kasus dugaan kriminalisasi dua pimpinan KPK Bibit Samad Rianto (Bibit) dan Chandra Marta Hamzah (Chandra) dan diperdengarkan rekaman Anggodo Widjojo pada sidang MK 3 Nopember 2009 yang lalu. Dari hasil rekaman tersebut, betapa hebatnya  Anggodo Widjojo  “menskenario” kriminalisasi pimpinan KPK dengan tindak pemerasan.
Di samping itu, kita juga mendapatkan gambaran bahwa betapa besar peran markus (makelar kasus) dalam merusak sistem peradilan, yang seharusnya berwibawa, jujur, bersih, adil dan bertanggungjawab. Kasus terungkapnya peran dan lihainya Anggodo Widjojo dalam “menggoreng” sebuah perkara – sebagaimana banyak diungkap berbagai media massa - , menurut saya hanya merupakan fenomena gunung es. Artinya, kasus serupa dalam praktek peradilan sedemikian banyak dan berurat akar seolah menjadi “budaya” yang sulit diberantas.
Kendatipun, UU Korupsi yang baru (UU No. 20/2001) telah masukkan tindakan suap dalam rumpun tindak pidana korupsi. Sehingga ancaman hukumannya lebih berat bila dibandingkan ketentuan sanksi  pidana Suap yang terdapat dalam KUHP dan UU No. 11/1980. Sebagai misal, pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima suap, menurut pasal 12 a UU No 20/2001 diancam pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 200 juta dan paling banyak satu miliar rupiah.
Sebaliknya, bagi setiap orang yang memberikan suap kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara, diancam pidana penjara paling singkat satu tahun dan paling lama lima tahun atau pidana denda paling sedikit  Rp. 50 juta dan paling banyak Rp. 250 juta.
Apakah dengan ketentuan pidana, baik denda dan atau penjara yang tinggi atau berat, otomatis tindak pidana suap (korupsi)  berkurang di Indonesia? Jawabnya : Tidak ditemukan riset yang khusus untuk menemukan relasi pengaruh tinggi atau beratnya sanksi pidana terhadap berkurangnya tindak pidana suap (korupsi) di Indonesia.Tetapi fakta lain, menunjukkan ketentuan sanksi pidana yang berat sekalipun ,misalnya dalam tindak pidana narkotika, psikotopika, pembunuhan berencana, termasuk tindak pidana korupsi (suap), entoh kejahatan tetap terjadi dan dalam jumlah yang terus meningkat.
Bahkan, salah seorang pimpinan KPK, Haryono Umar dalam wawancara dengan radio "Suara Surabaya" mengatakan bahwa dalam penanganan kasus korupsi, tindakan suaplah yang paling sulit pembuktiannya dan paling banyak jumlah kasusnya.
Dari sinilah perlunya dipikirkan alternatif lain dalam penegakan hukum suap.Tulisan ini hendak mencoba mengajukan satu tawaran alternatif penegakan hukum suap dengan pendekatan moral agama.
Sebagaimana dikonstatasi Harkristuti Harkrisnowo (2003 ; 28)  bahwa “kondisi penegakan hukum di Indonesia saat ini ditengarai mendekati titik nadir, telah menjadi sorotan yang luar biasa dari komunitas dalam negeri maupun internasional. Proses penegakan hukum , pada khususnya, acap dipandang bersifat diskriminatif, inkonsisten, dan mengedepankan kepentingan kelompok tertentu…”
Setidak-tidaknya  terdapat lima alasan mengapa hukum di Indonesia sulit ditegakkan ? Pertama, aparat penegak hukum terkena sangkaan dan dakwaan korupsi atau suap. Kedua, mafia peradilan marak dituduhkan; Ketiga, hukum seolah dapat dimainkan, dipelintirkan , bahkan hanya berpihak kepada mereka yang memiliki status sosial yang tinggi ; Keempat, penegakan hukum lemah dan telah kehilangan kepercayaan masyarakat; Kelima, masyarakat apatis, mencemooh dan melakukan proses peradilan jalanan (Hikmahanto Juwana, Dies Natalis ke-56 Universitas Indonesia, 2006).
Hasil riset yang dilakukan Soerjono Soekanto (1978 : 534), ditemukan lima faktor yang menentukan efektifitas penegakan hukum, antara lain sebagai berikut : (1) pemberian teladan kepatuhan hukum oleh aparat penegak hukum ; (2)sikap lugas dan tegas (zakelijk) dari para penegak hukum ; (3)penyesuaian peraturan yang berlaku dengan perkembangan teknologi mutakhir ; (4) penyuluhan mengenai keberadaan peraturan  yang berlaku terhadap masyarakat ; dan (5) memberi waktu yang cukup bagi masyarakat untuk memahami peraturan yang baru dibuat.
Menurut saya, satu hal penting yang perlu dicatat dan dielaborasi  dari hasil penelitian Soerjono Soekanto tersebut adalah pemberian teladan kepatuhan hukum oleh aparat penegak hukum . Dalam bahasa agama disebut ; adanya uswatun hasanah (contoh yang baik) oleh aparat penegak hukum dan aparat birokrat. Dalam bahasa lain dapat dirumuskan dengan kalimat :  “  satunya kata dengan tindakan”.
Dalam suatu kesempatan  Rasulullah Muhammad SAW di hadapan para sahabat mengatakan bahwa beliau akan memotong sendiri, andai putrinya Fatimah melakukan pencurian. Sungguh contoh yang luar biasa.Keberanian sekaligus ketegasan seorang pemimpin terhadap tidak saja kepada rakyatnya, juga kepada putrinya sendiri.

Dalam salah satu tulisannya - Baharuddin Lopa  (2000, 82) pernah mengatakan : “Dalam mencegah dan memberantas korupsi (suap), tidak terlalu banyak penyampaian kata-kata, cukup sikap kita yang terpuji yang dilihat oleh sesama dan jajaran kita untuk dijadikan teladan. Satu tingkah laku yang positif yang diperlihatkan oleh atasan kepada bawahan,  jauh lebih efektif daripada 2000 kata
Berbicara keteladanan aparat penegak hukum, sejatinya  berbicara soal integritas dan moralitas aparat penegak hukum . Berkaitan hal tersebut , terdapat adagium dalam bahasa latin  berbunyi : quid lege sine moribus  ? Apa artinya hukum kalau tidak disertai moralitas aparat penegak hukum ? Dalam kaitan antara moralitas, budaya malu,  dan keteladanan aparat penegak hukum; Baharuddin Lopa (2001, 82) juga membuat deskripsi yang menarik sebagai berikut :
Dalam membicarakan persoalan integritas moral tak dapat dipisahkan budaya malu yang dimiliki oleh seseorang. Mengapa ? Karena tidak mungkin seseorang tidak merasa malu melakukan perbuatan tidak terpuji,kalau ia bermoral sebagaimana diajarkan oleh agama (Islam), karena malu adalah sebagian dari iman (moral). Hanya orang yang bermoral yang malu melakukan perbuatan tidak terpuji tersebut. Mereka tidak melakukan perbuatan tidak terpuji, bukan karena takut ditangkap atau dihukum, tetapi karena malu kepada sesama, terutama malu dan takut kepada Allah. Orang yang berkepribadian seperti inilah yang mampu menjadi teladan. Sedangkan unsur keteladanan ini sangat mutlak dimiliki oleh kalangan atas agar dapat dicontoh dan diikuti oleh seluruh jajarannya”.

Di seberang yang lain, terdapat contoh baik (best practices) yang perlu disosialisasikan, disebarluarkan, dihayati dan diamalkan oleh setiap insan penegak hukum. Yakni  Ikrar Anti-suap yang dikumandangkan oleh Asosiasi advokat Indonesia Jakarta, pada tanggal 1 Februari 2002, yang pada pokoknya menyerukan  ikrar sebagai berikut :
(1)     Dalam menjalankan tugas profesi, kami selaku advokat, tidak akan melakukan dan/atau memberikan toleransi terhadap perbuatan-perbuatan tidak terpuji yang tergolong ke dalam tindakan suap dalam bentuk apapun;
(2)     Kami menyerukan kepada sesama rekan advokat selain AAI, agar tidak melakukan perbuatan-perbuatan tidak terpuji yang tergolong ke dalam tindakan suap dalam bentuk apapun;
(3)     Kami menyerukan agar semua pejabat yang bertugas di bidang penegakan hukum, seperti polisi, jaksa, dan hakim untuk juga tidak melakukan dan/atau tidak memberikan toleransi terhadap perbuatan yang tidak terpuji yang tergolong ke dalam tindakan suap dalam bentuk apapun;
(4)     Kami menyerukan agar pihak DPR, Pemerintah dan lembaga-lembaga  Negara yang lain untuk memberikan komitmen antisuap dan mempraktekkannya dalam menjalankan tugas maupun dalam melaksanakan kehidupan sehaari-hari.
(5)     Kami menyerukan agar Presiden, Wakil Presiden dan para menteri agar mempunyai political will dan political action yang jelas untuk memberantas semua bentuk tindakn suap-menyuap;
(6)     Kami mendesak agar pihak yang berwenang di bidang hukum untuk menjatuhkan sanksi seberat-beratnya sesuai hukum yang berlaku kepada siapapun yang terbukti terlibat di dalam praktek suap;
(7)     Kami mengajak semua komponen bangsa dan semua lapisan masyarakat untuk ikut aktif terlibat di dalam melakukan kampanye antisuap di seluruh pelosok Indonesia.

Pada intinya Ikrar Antisuap tersebut menyerukan kepada aparat penegak hukum (polisi, jaksa, hakim, advokat), DPR, pemerintah, menteri, lembaga-lembaga negara yang lain, presiden/wapres, dan semua komponan bangsa , untuk tidak melakukan dan/atau tidak memberikan toleransi terhadap perbuatan yang tidak terpuji yang tergolong ke dalam tindakan suap dalam bentuk apapun.
Bila deklarasi anti-suap tersebut tidak sebatas Ikrar, tapi betul-betul diejahwantahkan dalam praktek penegakan hukum dan pelayanan publik di bumi pertiwi ini, dalam jangka panjang , seperti harapan kita bersama , Insya Allah dapat tercipta pemerintahan yang bersih dari suap (korupsi), sehingga tercipta kesejahteraan, kemakmuran dan keadilan soal.
Sebagai catatan penutup, penulis mengutip pidato terakhir Rasulullah di depan umatnya di padang Arofah pada saat haji wada’ atau pemungkas)  , yang merupakan bukti nyata kecintaan Nabi Muhammad terhadap keadilan, sebagai bahan renungan kita bersama:
Wahai manusia ! Perhatikan kata-kata ini, barangkali aku tidak akan bersamamu lagi setelah tahun ini dengan kalian, di tempat ini. berlakulah adil dan manusiawi di antara kalian. Harta dan jiwa kalian masing-masing adalah suci tidak dapat diganggu oleh orang lain.Beriman merupakan kewajiban setiap orang dan kalian pasti akan menghadap Tuhan, pada waktu itu kalian diminta pertanggungjawaban atas segala perbuatanmu. Kalian harus membimbing mereka dengan penuh kepercayaan. Wahai manusia! Dengarlah kata-kataku  dan ingatlah. Telah kuberikan segalanya. Aku telah tinggalkan hukum yang harus kalian pertahankan dan jalankan dengan sebaik-baiknya, Al Qur’an dan hadits “.






Hufron, SH.MH.,
Dosen , Praktisi Hukum & Kandidat Doktor Ilmu Hukum Univ. Brawijaya Malang
HP : 081-2352-9300.




Jumat, 11 Desember 2009

HUKUM, POLITIK, DAN KEPENTINGAN

Di saat kelompok kepentingan adalah mayoritas tunggal dan berpandangan bahwa hukum itu alat rekayasa sosial, kelompok tersebut akan selalu menjadikan kebijakan publik terwujud dalam peraturan untuk pengendalian sosial. Tetapi jika kelompok kepentingan itu terdiri dari beberapa kelompok yang saling tergantung dan membutuhkan, maka kebijakan publik yang terwujud dalam peraturan atau hukum adalah hasil kesepakatan dari proses kompromi dan tawar menawar.

Pada saat Orde Baru berkuasa, pemerintah memandang hukum sebagai alat rekayasa sosial (law as a tools social engineering). Oleh karena itu dalam cara pandang pemerintah Orde Baru , hukum digunakan untuk mengatur dan mengendalikan masyarakat (social control) . Paradigma tersebut menjadikan setiap kebijakan publik yang dikeluarkan oleh Pemerintah cukup dikendalikan oleh aktor tunggal yaitu eksekutif dengan didukung penuh oleh aktor piguran, yakni : ABRI, Birokrasi,dan Golkar (ABG).

Sementara DPR sebagai lembaga perwakilan rakyat – saat itu - hanya berfungsi sebagai rubber stamp (stempel karet) apa yang menjadi kehendak dari eksekutif. Paradigma pengambilan kebijakan publik seperti di atas, dalam kenyataannya tidak mampu melahirkan kesejahteraan dan keadilan sosial bagi masyarakat Indonesia - adil dalam kemakmuran, dan makmur dalam keadilan - sebagaimana diamanatkan Pembukaan UUD 1945. Setelah Pemerintah rezim Orde Baru tumbang, tepatnya tanggal 18 Mei 1998, muncul Orde Reformasi dan dilanjutkan dengan pemilihan umum 1999. Hasil pemilihan umum 1999 telah melahirkan kekuataan-kekuatan politik yang berimbang, karena tidak ada partai politik yang menang secara mayoritas (mutlak) . Sehingga setiap pengambilan keputusan politik oleh pemerintah, membutuhkan koalisi di antara kekuatan-kekuatan politik yang ada di Senayan dan hasilnya sangat bergantung dari proses kompromi kelompok kepentingan politik yang ada.

Pembentukan koalisi ini mengakibatkan adanya tawar-menawar antara berbagai kepentingan kelompok yang sedang “bertarung” di Gedung MPR/DPR untul mencapai kesepakatan, sehingga paradigma hukum bergeser dan menjadi alat legalitas atau legitimasi dari kelompok-kelompok kepentingan untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Dengan Prinsip bahwa tujuan menghalalkan segala cara (the means justifies the ends).

Jika masa Orde Baru eksekutif dengan leluasa menjalankan kebijakannya dengan “sesuka hati”, saat sekarang tidak bisa lagi hal itu dilakukan. Sebagai contoh saat pemerintah melepas sahamnya di Bukopin, Bank Niaga, BCA; DPR terlibat sangat aktif untuk menentukan boleh tidaknya dijual, bahkan soal harga dan detil-detil lainnya. Begitu pula jika Presiden akan mengangkat/mengganti Panglima TNI, Kapolri, Kepala Staf yang lain, Jaksa Agung atau bahkan Dubes, Presiden tidak lagi bisa main tunjuk dan comot begitu saja. Para koboi di Senayan bisa menghentak tali laso dan menggeber kudanya hingga meringkik keras-keras jika itu dilakukan presiden. Menyusun kabinetpun Presiden tak bisa leluasa menggunakan hak prerogatifnya, tetapi harus menampung kompromi-kompromi politik, hingga merek kabinetnya bisa beragam; ada Kabinet Pelangi, Kabinet Gotong Royong, mungkin nanti juga ada Kabinet Gado-Gado, Rujak Cingur, Soto Madura, Soto Lamongan atau Coto Makasar.

Dalam konteks otonomi daerah, kebijakan publik adalah merupakan hasil kompromi berbagai aktor. Aktor utama adalah DPRD dan Kepala Daerah. Di samping itu terdapat aktor lain yang juga ikut menentukan kebijakan publik di daerah, antara lain ; pemodal (investor), partai politik , pers , dan tokoh ormas.Aktor-aktor tersebut sangat dominan mempengaruhi, bahkan mengintervensi kebijakan publik di daerah, terlebih pada kebijakan sektor anggaran publik.

Pada saat pembahasan Rancangan APBD , sebagian besar fraksi di DPRD bersuara kencang dan keras (bahkan nyaris putus urat lehernya) terhadap postur dan struktur R-APBD yang diajukan oleh Kepala Daerah. Kerasnya suara tersebut tidak dimaksudkan agar penyusunan APBD lebih aspiratif , sesuai dengan riel di lapangan dan pro-rakyat, tetapi hanya sebagai alat bergaining position untuk mendapatkan konsesi proyek. Sehingga pembahasan R-APBD bagi DPRD dan Kepala Daerah, lebih merupakan instrumen “bagi-bagi proyek” atau “jatah kapling proyek”.
Bagi partai politik penyusunan kebijakan publik, khususnya APBD, adalah momen penting untuk “main mata” baik dengan kepala daerah maupun dengan Anggota Dewan yang merupakan perpanjangan tangan dari parpol, yang berujung pada prinsip “bagi-bagi proyek” , dalam rangka mengisi pundi-pundi partai politik agar tetap eksis dan berkembang kegiatan partai politiknya.

Bagi pemodal (investor) , boleh jadi juga didukung oleh pers atau tokoh masyarakat, “intervensi” dalam penyusunan kebijakan anggaran daerah, kepentingannya sungguh jelas. Yaitu “mengarahkana” agar kebijakan anggaran daerah sesuai dengan agenda bisnis atau proyek yang sedang/ akan dikerjakan oleh pemilik modal. Cara demikian ditempuh oleh pemilik modal, karena dalam realitas empiris , para pemilik modal merasa telah mengeluarkan biaya money politic yang sangat besar guna penyuksesan calon pasangan Kepala Daerah terpilih.

Laporan Keterangan Pertangggungjawaban Kepala Daerah (LKPJ) di hadapan DPRD menjadi ajang “pemerasan” terhadap kepala daerah. Terlebih pada saat berlakunya Undang Undang No. 22 tahun 1999, yang memungkinkan pemberhentian kepala daerah akibat ditolaknya LKPJ untuk kedua kalinya. Dalam konteks UU No 32 tahun 2004, LKPJ lebih sebagai progress report dan tidak berkonsekuensi pada pemberhentian kepala daerah. Maka sikap kritis yang dilakukan anggota dewan terhadap kinerja kepala daerah menjadi alat bergaining untuk menekan kepala daerah agar memenuhi ongkos politik yang memadai atau dipergunakan untuk memperbesar “uang terima kasih”.

Paradigma pembangunan hukum pada era reformasi, baik di tingkat nasional maupun di daerah, dengan menjadikan hukum sebagai alat legalitas bagi kompromi kelompok-kelompok kepentingan seperti tersebut di atas , hal in telah menjauhkan dari tujuan dibentuknya pemerintahan negara , termasuk pemerintahan daerah, yaitu memberikan kesejahteraan umum (bonum commone) bagi rakyatnya . Dengan demikian paradigma pembangunan hukum di era reformasi perlu digeser menjadi paradigma yang berpihak kepada rakyat, bangsa dan negara, dengan berlandaskan nilai-nilai moral dan agama yang dianut bangsa Indonesia.

Thomas Aquinas mengatakan bahwa “hukum adalah perintah yang masuk akal, ditujukan untuk kesejateraan umum, dibuat oleh mereka yang mengemban tugas suatu masyarakat dan dipromulgasikan (quedam rationis ordinatio ad bonum commune, ab eo qui curam communitatis habet promulgata)”.Menurut Thomas tujuan hukum adalah kesejahteraan umum (bonum commune). Rakyat suatu negara haruslah menikmati kesejahteraan umum. Kesejahteraan umum meliputi antara lain : keadilan, perdamaian, ketentraman hidup, dan jaminan keamanan bagi warganya. Pemerintah (daerah) yang tidak menjamin rakyatnya menikmati kesejahteraan umum berarti mengkhianati mandat yang diembannya. Bukankah sejatinya tugas pemerintah (pusat/daerah) adalah mensejahterakan rakyatnya?



Kamis, 10 Desember 2009

Download Undang-undang

Anda memerlukan undang-undang politik dan undang-undang serta perda lainnya ????
Silakan download pd link ini
UU No 10 tahun 2008 tentang Pemilu, DPR, DPD DAN DPRD (versi pdf)
UU No 10 tahun 2008 tentang Pemilu, DPR, DPD DAN DPRD (versi DOC)
UU No 42 tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden dan wakil presiden (versi pdf)
UU No 2 tahun 2008 tentang Parpol (versi pdf)
UU No 22 tahun 2007 tentang Penyelenggara pemilu (versi pdf)
UU No 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (versi pdf)
UU No 27 tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD DAN DPRD (versi pdf)
UU No. 31 tahun 2000 tentang Desain Industri (versi pdf)
UU No. 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit (versi pdf)

Politik Hukum Pemberantasan Korupsi


Untuk menjawab pertanyaan : kapan hukum determinan atas politik atau sebaliknya,  politik determinan atas hukum ? Moh. Mahfud MD., mengajukan jawaban yang bersifat hipotetis sebagai berikut : “konfigurasi politik yang demokratis senantiasa melahirkan produk hukum yang berkarakter responsif, sedangkan konfigurasi politik yang otoriter melahirkan produk hukum yang berkarakter konservatif.”
Berbicara hubungan hukum dan politik atau sebaliknya politik dengan hukum, tidak bisa dilepaskan dengan disipilin Politik hukum. Politik hukum adalah :  “ suatu dasar kebijaksanaan yang menjadi landasan bagi pelaksanaan dan penerapan hukum yang bersangkutan “ (A. Ridwan Halim), begitu juga Padmo Wahyono menjelaskan politik hukum adalah kebijakan dasar yang menentukan arah, bentuk dan isi dari hukum yang akan dibentuk, diterapkan  dan ditegakkan.
Lalu, bagaimana politik hukum atau latarbelakang filosofis, yuridis, historis dan sosiologis lahirnya Undang Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi?
Mengingat korupsi di Indonesia terjadi secara sistematik dan meluas sehingga tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga telah melanggar hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas, maka pemberantasan korupsi perlu dilakukan dengan cara luar biasa.  Antara lain penerapan sistem pembuktian terbalik yakni pembuktian yang dibebankan kepada terdakwa.
Di samping itu, Undang Undang yang baru juga memperluas ketentuan  mengenai sumber perolehan alat bukti yang sah yang berupa petunjuk. Dirumuskan mengenai "petunjuk" selain diperoleh dari keterangan saksi, surat, dan keterangan terdakwa, juga diperoleh dari alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu tetapi tidak terbatas pada data penghubung elektronik (electronic data interchange), surat elektronik (e-mail), telegram, teleks, dan faksimili. Petunjuk juga dapat diperoleh dari dokumen, yakni setiap rekaman data atau informasi yang dapat dilihat, dibaca dan atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas, maupun yang terekam secara elektronik, yang berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka, atau perforasi yang memiliki makna.
            Pula, diatur mengenai hak negara untuk mengajukan gugatan perdata terhadap harta benda terpidana yang disembunyikan atau tersembunyi dan baru diketahui setelah putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap. Harta benda yang disembunyikan atau tersembunyi tersebut diduga atau patut diduga berasal dari tindak pidana korupsi. Gugatan perdata dilakukan terhadap terpidana dan atau ahli warisnya. Untuk melakukan gugatan tersebut, negara dapat menunjuk kuasanya untuk mewakili negara.
            Dalam UU yang baru juga diatur mengenai maksimum pidana penjara dan pidana denda bagi tindak pidana korupsi yang nilainya kurang dari Rp. 5.000.000,00 (lima juta rupiah). Ketentuan ini dimaksudkan untuk menghilangkan rasa kekurangadilan bagi pelaku tindak pidana korupsi, dalam hal nilai yang dikorup relatif kecil.
            Dapat ditarik kesimpulan , sebenarnya UU Pemberantasan Korupsi yang baru telah mengatur cara-cara luar biasa pemberantasan korupsi (extra-ordinary) di Indonesia meliputi :  penerapan sistem pembuktian terbalik, perluasan mengenai sumber perolehan alat bukti yang sah yang berupa petunjuk, hak negara untuk mengajukan gugatan perdata terhadap harta benda terpidana, pidana denda yang lebih tinggi, dan ancaman pidana mati yang merupakan pemberatan pidana, pidana penjara bagi pelaku tindak pidana korupsi yang tidak dapat membayar pidana tambahan berupa uang pengganti kerugian negara, serta   ditetapkannya  ancaman pidana minimum khusus.
Apabila disandingkan / dibandingkan Undang Undang Pemberantasan Tindak Korupsi Nomor . 3 tahun 1971 dan Undang undang Nomor  31 tahun 1999 dengan undang undang Nomor 20 tahun 2001, maka UU yang baru memiliki setidaknya  memiliki 10 (sepuluh) keunggulan, yaitu ;
  1. Dalam Undang Undang No. 20 tahun 2001 tindak pidana korupsi dirumuskan secara formal (delik formal), bukan delik materiil. Sehingga pengembalian kerugian keuangan negara tidak menghapuskan penuntutan terhadap terdakwa ;
  2. Dalam Undang Undang ini subyek hukum tidak hanya perorangan, tetapi juga termasuk korporasi;
  3. Pengaturan wilayah keberlakuan / yurisdiksi kriminal dapat diberlakukan di luar batas teritorial Indonesia;
  4. Pengaturan tentang sistem  pembuktian terbalik atau berimbang atau ”balanced burden of proof”.
  5. Pengaturan pidana minimum khusus, di samping ancaman pidana maksimal ;
  6. Ancaman pidana mati sebagai unsur pemberatan ;
  7. Pengaturan tentang penyidikan  gabungan dalam perkara tindak pidana korupsi yang sulit pembuktiannya di bawah koordinasi jaksa agung;
  8. Pengaturan tentang penyidikan dalam kaitan dengan rahasia  bank yang lebih luas dengan diawali dengan pembekuan rekening tersangka, dilanjutkan penyitaan;
  9. Pengaturan tentang peranserta masyarakat  sebagai sarana kontrol sosial dipertegas dan diperluas, sehingga perlindungan hukum terhadap saksi pelapor lebih optimal dan efektif (mirip dengan whistle blower act);
  10. Mengamanatkan pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang bersifat independent, yang keanggotaannya terdiri unsur pemerintah dan masyarakat, serta pengangkatannya mendapat persetujuan DPR.
Sepuluh karakteristik pengaturan hukum formil maupun meteriil dalam Undang Undang No. 20 tahun 2001, adalah perubahan sangat mendasar dibanding Undang Undang pemberantasan Korupsi sebelumnya, di samping hal tersebut menunjukkan politik hukum yang sungguh-sungguh dari pemerintah reformasi  dalam pemberantasan korupsi. Dalam pelaksanaannya Undang Undang ini, yang diperan-aktori oleh KPK telah berhasil mengungkap dan membongkar beberapa kasus korupsi yang besar, seperti korupsi di tubuh KPU, korupsi Dana Abadi Umat (DAU) di departemen Agama, praktek penyuapan di MA, korupsi di perlemen, baik di pusat maupun di daerah,  korupsi di departemen kesehatan , dan sebagainya.
Dengan demikian , politik hukum yang terkandung dalam Undang undang No. 20 tahun 2001, dapat dipahami sebagai kesungguhan pemerintah dan parlemen dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi dengan membentuk Undang Undang yang memiliki 10 (sepuluh)  keunggulan sebagaimana terurai di atas. Ditambah lagi dengan dibentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai badan khusus yang memiliki berbagai kewenangan penyidikan dan penuntutan  tindak pidana korupsi, sebagai amanah dari pasal 43 Undang Undang No. 20 tahun 2001.Maka selanjutnya untuk efektifitas dan efisien pemberantasan korupsi di Indonesia, perlu didukung dengan Undang undang yang pengadilan khusus tindak pidana korupsi (pengadilan tipikor)  yang bersifat independen, profesional, jujur dan adil.
Jika alur pikirnya konsisten dan konsekuen, bahwa tindak pidana korupsi adalah extra ordinary crime (kejahatan luar biasa), maka pemberantasannya juga memerlukan cara-cara yang luar bisa (hukum materiil dan formil yang luar biasa) , termasuk penyidik dan penuntut umum yang memiliki kewenangan luar biasa (seperti KPK) , serta pengadilan khusus yang profesional memeriksa dan memutus tindak pidana korupsi (pengadilan tipikor) . Sehingga politik hukum yang terkandung dalam Undang undang No. 20 Tahun 2001, memiliki ”roh” untuk memberikan dorongan, semangat,  relevansi dan  urgensi serta efektifitas dalam penegakan hukum tindak pidana korupsi. Jika tidak, Undang undang No. 20 Tahun 2001, akan menjadi macan ompong atau kertas mati (black letter dead) saja . Semoga hal ini menjadi renungan kita bersama pada Hari Peringatan dan Perayaan Anti Korupsi Dunia Tanggal 9 Desember 2009.  
Hufron, SH.MH.,
Dosen , Praktisi Hukum & Kandidat Doktor Ilmu Hukum Univ. Brawijaya Malang
HP : 081-2352-9300.

Selasa, 08 Desember 2009

Menakar Praperadilan Kasus Bibit-Chandra


Sehari setelah diterbitkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKPP) atas Kasus Bibit Samad Rianto (Bibit) dan Chandra Marta Hamzah (Chandra) oleh Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan , tepatnya tanggal 2 Desember 2009 - sebagaimana pernah diprediksi oleh Ketua Komisi III DPR RI, Benny K. Harman saat merespon dikeluarkan SKKP tersebut – adanya gugatan praperadilan.


Gugatan praperadilan atas SKPP diajukan oleh Komunitas Advokat dan Masyarakat Penegak Hukum untuk Keadilan, beranggotakan 45 orang advokat termasuk pengacara senior O.C. Kaligis. Pihak lain yang turut mendaftarkan gugatan praperadilan atas SKPP tersebut ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan adalah gabungan sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM ) yang diwakili oleh Eggy Sudjana. (Jawa Pos, 3 Desember 2009).
Setidaknya terdapat tiga isu menarik dan penting yang perlu dipahami dan dikritisi oleh publik berkenaan dengan gugatan praperadilan atas SKPP perkara Bibit dan Chandra, yaitu mengenai subyek pemohon praperadilan, obyek praperadilan dan implikasi hukum putusan praperadilan.

Subyek Pemohon Praperadilan
Subyek atau pihak-pihak dalam pemeriksaan praperadilan menurut UU No. 8/1981 tentang Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana (disingkat KUHAP) ada dua yaitu : pihak pemohon (penggugat) dan pihak termohon (tergugat). Dalam perkara praperadilan atas SKPP tersebut , pihak pemohon (penggugat) adalah komunitas advokat dan LSM yang memiliki kepedulian terhadap penegakan hukum dan keadilan di Indonesia. Sedangkan pihak termohon (tergugat) adalah Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan sebagai pihak yang mengeluarkan SKPP.
Subyek pemohon gugatan praperadilan tentang sah-tidaknya penghentian penuntutan melalui SKPP kejaksaan, ada dua pihak yaitu penyidik (dalam hal ini polri) dan “pihak ketiga yang berkepentingan” (pasal 80 KUHAP). Artinya, jika penyidik polri yang menangani kasus Bibit dan Chandra berpendapat SKPP yang dikeluarkan jaksa tidak sesuai dengan ketentuan hukum, maka yang bersangkutan memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan gugatan praperadilan. Ketentuan demikian, sebagai wujud dari mekanisme checks and balances antar penegak hukum secara horizontal (polisi terhadap jaksa atau jaksa terhadap polisi), guna tegaknya peradilan pidana yang bersih, berkualitas dan bertanggungjawab
Selain penyidik polri, KUHAP juga menyebut pihak lain yang dapat mengajukan praperadilan akibat dikeluarkan ketetapan penghentian penuntutan yaitu “pihak ketiga yang berkepentingan”. Siapa yang dimaksud dengan : “pihak ketiga yang berkepentingan”? KUHAP diam beribu bahasa alias tidak secara jelas mengaturnya.
Apabila diikuti “konvensi” (kebiasaan) yang berlaku dalam praktek pemeriksaan perkara pidana, pada umumnya yang dimaksud “pihak ketiga yang berkepentingan” adalah saksi korban atau pelapor. Dalam kasus Bibit dan Chandra mengenai dugaan penyuapan dan penyalahgunaan wewenang, jika benar berawal dari testimoni Antasari Azhar (mantan Ketua KPK) , maka semestinya pihak yang mengajukan praperadilan adalah Antasari Azhar. Karena yang bersangkutan saksi pelapornya. Sedangkan untuk kasus dugaan pemerasan, dapat diajukan oleh Anggodo Widjojo. Sebab, dia yang seharusnya merasa dirugikan akibat dikeluarkan SKPP tersebut.
Memang ironis , pihak-pihak yang secara normatif seharusnya berhak mengajukan praperadilan , baik penyidik polri , Antasari Azhar maupun Anggodo Widjojo, akan tetapi secara faktual tidak menggunakan hak tersebut . Malahan , yang mengajukan gugatan praperadilan adalah komunitas advokat atau LSM. Bagaimana legal standing dari Komunitas Advokat atau LSM dalam gugatan praperadilan SKPP? Apakah komunitas advokat atau LSM dapat dikategorikan sebagai “pihak ketiga yang berkepentingan” ?
Apabila kita mengikuti logika “konvensi” di atas, “pihak ketiga yang berkepentingan” adalah saksi korban atau pelapor. Maka, Komunitas advokat atau LSM tidak bisa dimasukkan sebagai “pihak ketiga yang berkepentingan”. Karena mereka bukan pelapor atau saksi korban yang secara langsung dan seketika dirugikan akibat dihentikan penuntutan atas perkara Bibit dan Chandra.
Kendatipun demikian, mengingat KUHAP tidak secara tegas menjelaskan siapa yang dimaksud dengan “pihak ketiga yang berkepentingan”, maka terbuka tafsir baru sebagai terobosan atas pengertian “pihak ketiga yang berkepentingan” yang lebih dinamis dan progresif Pemahaman baru dari “pihak ketiga yang berkepentingan”di sini adalah siapa saja yang memiliki kepentingan, komitmen, dan kepedulian serta keprihatinan yang sama atas tegaknya hukum dan keadilan di negeri ini dapat menjadi subyek praperadilan . Semacam citizen law suit (gugatan oleh rakyat) sebagaimana dalam kasus uji materiil Undang Undang tentang Penyiaran, Ketenagalistrikan, Migas, dan Sumber daya Air pada Mahkamah Konstitusi (MK) beberapa waktu yang lalu.
Pemahaman demikian sebagai legal experiment menjadi penting dan perlu, tatkala pihak-pihak yang secara formal berhak mengajukan tuntutan hukum, tetapi yang bersangkutan tidak mau mempergunakan hak tersebut sebagaimana mestinya lebih karena pertimbangan membela kepentingan korps (spirit de corps) atau ewuh pakewuh.
Pemohon tentu menaruh harapan besar, sang hakim yang memeriksa gugatan praperadilan memiliki pemahaman yang sama atas interpretasi progresif tersebut, sehingga pemeriksaan praperadilan bisa dilanjutkan. Namun demikian, bisa saja hakim berpendapat lain, pemahanan baru tersebut telah keluar dari teks yang dimaksud pasal 80 KUHAP. Sehingga – tidak mustahil - permohonan praperadilan (akan) dinyatakan tidak dapat diterima (niet onvantkelijk verklaard).

Obyek Gugatan Praperadilan
Patut diketahui , praperadilan adalah wewenang Pengadilan Negeri untuk memeriksa, mengadili dan memutus tentang sah atau tidaknya penangkapan dan /atau penahanan, sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penuntutan, dan permintaan ganti-rugi atau rehabilitasi (pasal 1 butir 10 KUHAP).
Sesuai dengan wewenangan praperadilan di atas , memberikan informasi kepada kita bahwa dengan diterbitkannya SKPP kasus Bibit dan Chandra, berarti obyek gugatan praperadilan yang hendak diajukan para pemohon- komunitas advokat dan LSM - adalah tidak sahnya SKPP yang telah diterbitkan oleh Kejaksaan , karena dianggap tidak sesuai ketentuan hukum.
Sebagaimana dilansir media ini ( Jawa Pos , 1 Januari 2009), alasan yuridis diterbitkan SKPP kasus Bibit dan Chandra adalah perbuatan Bibit dan Chandra dianggap wajar karena merupakan bagian tugas dan kewenangannya serta pernah dilakukan oleh pendahulu mereka (pimpinan KPK periode sebelumnya). Sudah tepatkah alasan tersebut ?
Alasan penghentian penuntutan menurut hukum ada tiga hal yaitu tidak terdapat cukup bukti, peristiwa tersebut bukan merupakan tindak pidana, atau perkara ditutup demi hukum (vide : pasal 140 ayat 2 huruf a KUHAP).
Kalau alasan penerbitan SKPP, perbuatan Bibit dan Chandra dianggap wajar karena masih merupakan bagian dari tugas dan kewenangannya. Dus, berarti perbuatan tersebut bukan merupakan tindak pidana. Maka, dengan demikian alasan yang dipakai oleh kejaksaan untuk menghentikan penuntutan adalah peristiwa tersebut bukan merupakan perbuatan pidana.
Menurut hemat saya, alasan tersebut memang kurang atau tidak tepat. Secara faktual dari hasil identifikasi-verifikasi fakta dan data dari Tim 8, perkara tersebut lebih tepat diberhentikan penuntutannya karena alasan tidak terdapat cukup bukti. Walaupun bukan tanpa resiko. Karena alasan demikian, terbuka kemungkinan untuk dibuka kembali, jika terdapat bukti baru yang menguatkan dugaaan perbuatan pidana tersebut. Tetapi alasan demikian lebih realistis dan faktual.
Sesungguhnya, esensi debat sengit dan seru antara pemohon dan termohon dalam sidang pemeriksaaan praperadilan , apakah benar perbuatan Bibit dan Chandra - yang pada awalnya oleh penyidik polri dianggap sebagai penyalahgunaan wewenang - sekarang oleh jaksa dianggap perbuatan tersebut wajar, karena masih dalam konteks tugas dan kewenangannya ? Tentu, menjadi tugas yang berat bagi jaksa (termohon) untuk menjelaskan argumentasi atau nalar hakumnya. Kenapa bisa terjadi pergeseran makna tersebut?
Sebaliknya, pemohon juga harus dapat mendalilkan dan membuktikan, pergeseran makna tersebut syarat dengan motif dan kepentingan yang tidak lagi murni yuridis. Oleh karena itu harus ditolak dan dikesampingkan. Mengapa ? Sebab tidak memiliki sandaran hukum (legal basis) yang kuat dan meyakinkan.
Secara teoritis, jika gugatan sebuah gugatan praperadilan ingin dikabulkan oleh hakim. Maka dipersyaratkan antara posita (dasar gugatan) dan petitum (apa yang dituntut) harus relevan dan saling berkaitan satu sama lain, di samping harus didukung oleh buki-bukti dan fakta yang kuat dan otentik.
Andai benar, gugatan pemohon dikabulkan , maka hakim praperadilan dalam putusannya akan menetapkan: penghentian penuntutan Bibit dan Chandra melalui SKPP tidak sah dan penuntutan terhadap terdakwa wajib dilanjutkan. Bagaimana implikasi hukumnya ?

Implikasi Hukum
Setidak-tidanya terdapat dua implikasi hukum bila putusan praperadilan menetapkan SKPP atas perkara Bibit- Chandra tidak sah. Pertama , penuntutan perkara Bibit dan Chandra harus dilanjutkan. Yang berarti perkara Bibit dan Chandra dibuka kembali dan diperiksa dalam sidang pengadilan. Kedua, Kepres tentang pengaktifan kembali Bibit dan Chandra menjadi pimpinan KPK mengikat secara yuridis. Tetapi hanya terbatas sampai ditetapkan kembali Bibit dan Chandra sebagai terdakwa. Nah, secara empiris menjadi tidak efektif atau berharga. Pasalnya, sesaat setelah ditetapkan menjadi terdakwa, Bibit dan Chandra secara hukum harus berhenti sementara (non-aktif) dari pimpinan KPK.
Memang, melanjutkan pemeriksaan kembali perkara Bibit dan Chandra melalui forum pengadilan sesungguhnya akan lebih memberikan kepastian atas salah atau tidaknya (guilty or not guilty) perbuatan yang dituduhkan kepadanya. Akan tetapi , kita tahu bahwa kondisi yang demikian di samping tidak sesuai dengan arahan pidato Presiden SBY untuk tidak membawa perkara tersebut ke pengadilan, juga secara sosiologik boleh jadi akan memicu dan memancing konflik politik baru yang berkepanjangan . Semoga ini hanya mimpi buruk di siang bolong.

*Penulis adalah Dosen, Praktisi Hukum & Penulis Buku ; “Praperadilan Dalam Perspektif HAM”, email : hufronsby@yahoo.com., HP : 081-2352-9300., Fax : 031-5025926,