Selasa, 22 Desember 2009

Centurygate dan Impeachment Presiden / Wapres



Seorang sahabat yang menjadi anggota DPR RI bertanya  – kebetulan tahu saya sedang menyelesaikan disertasi tentang impeachment  Presiden dan atau Wapres di Indonesia – apakah kasus Bank Century (BC) / Centurygate bisa bermuara pada impeachment presiden dan atau wapres ? Bagaimana relevansi dan urgensi dari hak angket century terhadap impeachment presiden SBY dan /atau wapres Boediono?
Secara akademis saya jawab bisa, sepanjang memenuhi alasan maupun prosedur impeachment yang dipersyaratkan konstitusi. Sedangkan relevansi serta urgensi hak angket century  hanya sebagai pintu masuk (entry-point) dari proses panjang impeachment presiden dan atau wapres.
Sinyalemen demikian, tampaknya juga dicemaskan oleh Presiden SBY dalam pidatonya yang dikutip Kompas, 7 Desember 2009 : “Presiden menilai saat ini  telah terjadi fitnah dan pembunuhan karakter yang bertujuan untuk menggoyang bahkan menjatuhkan pemerintahan serta menjatuhkan nama baik Partai Demokrat –  yakni tudingan tentang aliran dana talangan Bank Century ke sejumlah kader Partai Demokrat ”.
Menurut saya makna frase “menggoyang dan menjatuhkan pemerintahan”, sejatinya sinomim  dengan makna impeachment kepala pemerintahan (presiden dan atau wakil presiden). Yang berarti, pemanggilan atau pendakwaan untuk meminta pertanggungjawaban atas persangkaan pelanggaran hukum yang dilakukan oleh Presiden dan atau Wakil Presiden dalam masa jabatan.
 Dalam Black’s Law Dictionary,  impeachment didefinisikan sebagai “A criminal proceeding against a public officer, before a quasi political court, instituted by a written accusation called ‘articles of impeachment’ ” (suatu proses pendakwaan pejabat publik di hadapan pengadilan semi politik /senat dilakukan dengan diajukan tuduhan tertulis yang disebut surat dakwaan dari impeachment.) Proses impeachment dimulai dengan adanya articles of impeachment  yang berfungsi sama dengan surat dakwaan dalam sistem peradilan pidana. Dengan demikian, articles of impeachment dapat dipahami sebagai surat resmi yang berisi tuduhan yang menunjukkan dimulainya suatu proses impeachment.
Nah, Jika tuntutan atau articles of impeachment terbukti, maka hukumannya adalah pemberhentian dari jabatan (removal from office)  atau pemakzulan. Pemakzulan presiden dan atau wapres  sama artinya dengan pemberhentian presiden dan atau wapres dalam masa jabatan.
Dalam konteks centurygate, kenapa impeachment ditujukan kepada Presiden SBY  dan atau Wapres Boediono? Menurut saya ditujukan kepada  wapres Boediono , karena pengambilan kebijakan dana talangan (bailout) BC diputus oleh Boediono yang pada saat itu menjabat sebagai Gubernur BI. Mengapa pula impeachment disasarkan kepada Presiden SBY ? Karena, bisa saja  kebijakan yang diambil oleh Gubernur BI dan Menteri Keuangan berkenaan dana talangan (bailout) BC saat itu  seijin atau mendapat persetujuan Presiden. Terlebih ditengarai pada saat rapat KSSK , dihadiri oleh Marsilam Simanjutak,  ketua UKP3R, yang notabene merupakan liaison antara Presiden SBY dengan KSSK.
 Jika tengara tersebut benar, sudah tentu hasil rapat KSSK telah dilaporkan kepada Presiden SBY oleh  Marsilam Simanjutak sebagai penerima mandat. Sebaliknya, jika tengara tersebut tidak benar, maka proses impeachment hanya bisa addressat to wapres Boediono.

Alasan  dan Prosedur Impeachment
Pasal  7B UUD 1945 ( perubahan ketiga)  menyebutkan alasan impeachment  presiden dan atau  wapres dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu alasan pelanggaran hukum dan pelanggaran administrasi. Pelanggaran hukum meliputi lima alasan yaitu makar, korupsi, pennyuapan, tindak pidana berat lainnya dan melakukan perbuatan tercela. Pelanggaran administrasi yaitu  presiden dan /atau wakil presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai  presiden dan atau wakil presiden.
Menurut saya – dari enam alasan dalam konstitusi – satu alasan yang relevan dengan kasus BC adalah pengambilan kebijakan dana talangan (bailout) BC terjadi -  karena ada indikasi penyalahgunaan wewenang, kesempatan atau sarana, atau kedudukan karena jabatan, sehingga merugikan keuangan negara atau perekonomian nasional.
Jika, pansus angket dengan kerja-keras dan kerja cerdasnya, bisa mengungkap dan membuktikan bahwa pengambilan kebijakan bailout BC terjadi lantaran adanya penyalahgunaan wewenang oleh pejabat yang berwenang , maka secara normatif, laporan pansus hak angket century, dapat dinaikkan atau dimajukan menjadi Hak Menyatakan Pendapat DPR.
Sebaliknya, jika pansus hak angket tidak mampu dan berhasil menelisik adanya penyalahgunaan wewenang oleh SBY sebagai Presiden dan Boediono sebagai Gubernur BI pada saat itu pengambilan kebijakan bailout  BC tersebut , maka laporan pansus angket century paling banter terumus sebagai berikut  :  ”Kebijakan berkaitan dengan  bailout BC tidak bertentangan dengan peraturan Perundang-undangan, usul hak angket dinyatakan selesai, dan materi angket tidak dapat diajukan kembali.”
Pada hakekatnya, kegagalan pansus angket century untuk mengungkap adanya penyalahgunaan wewenang dalam penerbitan kebijakan bailout  BC, selain karena aspek substansi masalah tidak dapat dibuktikan , tetapi dapat juga  karena aspek prosedural yakni quorum pengambilan keputusan rapat paripurna DPR mengenai laporan panitia angket.
Patut diketahui, keputusan rapat paripurna laporan panitia angket harus dihadiri lebih dari ½  jumlah anggota DPR dan putusan diambil dengan persetujuan lebih dari ½ jumlah anggota DPR yang hadir (pasal 182 ayat 3 UU No. 27/2009). Mengingat  jumlah anggota DPR RI saat ini adalah 560 orang, maka rapat paripurna harus dihadiri sekurang-kurangnya 281 orang anggota , dan putusan diambil dengan persetujuan 141 orang anggota DPR yang hadir.
Apabila diperhatikan konfigurasi perolehan suara partai di DPR untuk pemilu tahun 2009 , bisa saja pengambilan keputusan tersebut, tidak bisa mencapai quorum, manakala keputusan paripurna tersebut hanya didukung oleh partai ”oposisi” (PDIP, Gerindra, Hanura) yang hanya didukung 137 suara, sedangkan partai koalisi Domokrat (Golkar, PKS, PAN, PPP, dan PKB)  berjumlah 423 suara.
Sebagaimana diketahui, untuk dapat dilakukan impeachment presiden dan atau wapres, hak angket harus dilanjutkan atau dimajukan menjadi Hak Menyatakan Pendapat. Karena impeachment  presiden dan atau wapres dimulai dari adanya Hak Menyatakan Pendapat DPR bahwa presiden dan atau wapres melakukan pelanggaran hukum baik berupa makar, korupsi, penyuapan , tindak pidana berat lainnya maupun perbuatan tercela, serta presiden dan atau wapres tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden dan atau wapres.
Selanjutnya, DPR menyampaikan keputusan tentang Hak Menyatakan Pendapat tersebut kepada Mahkamah Konstitusi (MK). MK lebih lanjut akan memeriksa, mengadili dan memutus dugaan pelanggaran hukum tersebut paling lama 90 sejak diajukan permintaan.
Dalam hal, MK memutus pendapat DPR atas dugaan pelanggaran yang dilakukan presiden dan atau wapres tersebut terbukti, maka DPR menyelenggarakan rapat paripurna untuk meneruskan usul pemberhentian presiden dan /atau wapres kepada MPR. Sebaliknya, dalam hal MK memutuskan bahwa pendapat DPR atas dugaan pelanggaran tersebut tidak terbukti, usul pemberhentian presiden dan /atau wapres tidak dilanjutkan.
            Kendatipun demikian, perlu dicatat bahwa rapat paripurna DPR dapat menerima atau menolak laporan kerja pansus Hak Menyatakan Pendapat dengan syarat rapat dihadiri sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota DPR dan keputusan diambil dengan persetujuan sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota DPR yang hadir (pasal 187 ayat 3 dan 4 UU No. 27/2009).
Mengingat jumlah anggota DPR kita adalah 560 orang, maka rapat paripurna Hak Menyatakan Pendapat harus dihadiri sekurang-kurangnya 373 orang dan keputusan diambil  dengan persetujuan sekurang-kurangnya 249 orang. Sehingga, rapat paripurna tersebut dapat dipastikan akan menolak laporan kerja pansus Hak Menyatakan Pendapat , karena jumlah suara partai koalisi lebih mendominasi yaitu berjumlah 423 suara. Oleh karena itu, harapan untuk membawa ”centurygate” ke proses impeachment  presiden dan atau wapres Boediono, akan menjadi sia-sia belaka, jika suara mayoritas partai koalisi tetap solid dan tidak terfragmentasi .

Pemakzulan Presiden/Wapres
Sebagaimana disebutkan di atas, dalam hal MK memutus Pendapat DPR atas dugaan pelanggaran oleh presiden dan atau wapres tersebut terbukti, maka DPR menyelenggarakan rapat paripurna untuk meneruskan usul pemberhentian presiden dan atau wapres kepada MPR.
MPR akan mengadakan sidang paripurna untuk menentukan apakah presiden dan /atau wapres akan diberhentikan atau tetap dalam jabatan, dengan syarat rapat harus  dihadiri sekurang-kurangnya ¾  dari seluruh anggota MPR; dan keputusan disetujui sekurang-kurangnya   dari anggota MPR yang hadir. Dus, berarti sidang paripurna MPR memenuhi quorum apabila dihadiri ¾ dari seluruh jumlah MPR (692 orang ) yaitu 510 orang dan keputusan disetujui sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota MPR yang hadir (519 orang) yakni 346 orang.
Jumlah 346 anggota MPR tersebut juga masih lebih sedikit (kalah) dari jumlah total suara partai koalisi 423 orang. Maka harapan untuk dapat memberhentikan presiden dan /atau wapres Boediono, dengan memperhatikan peta politik di atas, menurut hemat saya relatif sulit, berliku dan melelahkan.Terkecuali suara koalisi pecah dan pecahan suara koalisi tersebut,  jika digabung dengan partai ”oposisi” bisa menjadi minimal 424 orang, maka keputusan MPR bisa menentukan lain.
Apabila diperhatikan prosedur impeachment presiden dan atau wapres di atas, jika dibandingkan dengan pemberhentian Presiden Soekarno dan Abdurrahman Wahid, dapat dikatakan lebih baik,  karena  melibatkan pihak ketiga, yaitu MK untuk memeriksa, mengadili dan memutus apakah dugaan pelanggaran hukum dan administrasi oleh Presiden dan /atau wapres  terbukti atau tidak secara yuridis.
Sayangnya,  putusan MK tersebut tidak memiliki kekuatan mengikat secara hukum(non-legal binding) . Artinya, meskipun putusan MK menyatakan dugaan atas pelanggaran hukum/administrasi terbukti, namun soal apakah selanjutnya presiden dan atau wapres diberhentikan atau tetap dalam jabatan, sangat tergantung kepada putusan politik  (politieke beslissing) di MPR.
Idealnya, memang posisi MK tidak berada di tengah, tetapi berada posisi di akhir proses impeachment, sehingga kedudukan dan fungsi MK menguji apakah keputusan politik untuk memakzulkan presiden dan atau wapres sudah tepat atau tidak secara yuridis, seperti dipraktekkan oleh MK Korea Selatan.

Dosen , Praktisi Hukum & Kandidat Doktor Ilmu Hukum Univ. Brawijaya Malang
HP : 081-2352-9300.










Tidak ada komentar:

Posting Komentar