Selasa, 08 Desember 2009

Menakar Praperadilan Kasus Bibit-Chandra


Sehari setelah diterbitkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKPP) atas Kasus Bibit Samad Rianto (Bibit) dan Chandra Marta Hamzah (Chandra) oleh Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan , tepatnya tanggal 2 Desember 2009 - sebagaimana pernah diprediksi oleh Ketua Komisi III DPR RI, Benny K. Harman saat merespon dikeluarkan SKKP tersebut – adanya gugatan praperadilan.


Gugatan praperadilan atas SKPP diajukan oleh Komunitas Advokat dan Masyarakat Penegak Hukum untuk Keadilan, beranggotakan 45 orang advokat termasuk pengacara senior O.C. Kaligis. Pihak lain yang turut mendaftarkan gugatan praperadilan atas SKPP tersebut ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan adalah gabungan sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM ) yang diwakili oleh Eggy Sudjana. (Jawa Pos, 3 Desember 2009).
Setidaknya terdapat tiga isu menarik dan penting yang perlu dipahami dan dikritisi oleh publik berkenaan dengan gugatan praperadilan atas SKPP perkara Bibit dan Chandra, yaitu mengenai subyek pemohon praperadilan, obyek praperadilan dan implikasi hukum putusan praperadilan.

Subyek Pemohon Praperadilan
Subyek atau pihak-pihak dalam pemeriksaan praperadilan menurut UU No. 8/1981 tentang Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana (disingkat KUHAP) ada dua yaitu : pihak pemohon (penggugat) dan pihak termohon (tergugat). Dalam perkara praperadilan atas SKPP tersebut , pihak pemohon (penggugat) adalah komunitas advokat dan LSM yang memiliki kepedulian terhadap penegakan hukum dan keadilan di Indonesia. Sedangkan pihak termohon (tergugat) adalah Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan sebagai pihak yang mengeluarkan SKPP.
Subyek pemohon gugatan praperadilan tentang sah-tidaknya penghentian penuntutan melalui SKPP kejaksaan, ada dua pihak yaitu penyidik (dalam hal ini polri) dan “pihak ketiga yang berkepentingan” (pasal 80 KUHAP). Artinya, jika penyidik polri yang menangani kasus Bibit dan Chandra berpendapat SKPP yang dikeluarkan jaksa tidak sesuai dengan ketentuan hukum, maka yang bersangkutan memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan gugatan praperadilan. Ketentuan demikian, sebagai wujud dari mekanisme checks and balances antar penegak hukum secara horizontal (polisi terhadap jaksa atau jaksa terhadap polisi), guna tegaknya peradilan pidana yang bersih, berkualitas dan bertanggungjawab
Selain penyidik polri, KUHAP juga menyebut pihak lain yang dapat mengajukan praperadilan akibat dikeluarkan ketetapan penghentian penuntutan yaitu “pihak ketiga yang berkepentingan”. Siapa yang dimaksud dengan : “pihak ketiga yang berkepentingan”? KUHAP diam beribu bahasa alias tidak secara jelas mengaturnya.
Apabila diikuti “konvensi” (kebiasaan) yang berlaku dalam praktek pemeriksaan perkara pidana, pada umumnya yang dimaksud “pihak ketiga yang berkepentingan” adalah saksi korban atau pelapor. Dalam kasus Bibit dan Chandra mengenai dugaan penyuapan dan penyalahgunaan wewenang, jika benar berawal dari testimoni Antasari Azhar (mantan Ketua KPK) , maka semestinya pihak yang mengajukan praperadilan adalah Antasari Azhar. Karena yang bersangkutan saksi pelapornya. Sedangkan untuk kasus dugaan pemerasan, dapat diajukan oleh Anggodo Widjojo. Sebab, dia yang seharusnya merasa dirugikan akibat dikeluarkan SKPP tersebut.
Memang ironis , pihak-pihak yang secara normatif seharusnya berhak mengajukan praperadilan , baik penyidik polri , Antasari Azhar maupun Anggodo Widjojo, akan tetapi secara faktual tidak menggunakan hak tersebut . Malahan , yang mengajukan gugatan praperadilan adalah komunitas advokat atau LSM. Bagaimana legal standing dari Komunitas Advokat atau LSM dalam gugatan praperadilan SKPP? Apakah komunitas advokat atau LSM dapat dikategorikan sebagai “pihak ketiga yang berkepentingan” ?
Apabila kita mengikuti logika “konvensi” di atas, “pihak ketiga yang berkepentingan” adalah saksi korban atau pelapor. Maka, Komunitas advokat atau LSM tidak bisa dimasukkan sebagai “pihak ketiga yang berkepentingan”. Karena mereka bukan pelapor atau saksi korban yang secara langsung dan seketika dirugikan akibat dihentikan penuntutan atas perkara Bibit dan Chandra.
Kendatipun demikian, mengingat KUHAP tidak secara tegas menjelaskan siapa yang dimaksud dengan “pihak ketiga yang berkepentingan”, maka terbuka tafsir baru sebagai terobosan atas pengertian “pihak ketiga yang berkepentingan” yang lebih dinamis dan progresif Pemahaman baru dari “pihak ketiga yang berkepentingan”di sini adalah siapa saja yang memiliki kepentingan, komitmen, dan kepedulian serta keprihatinan yang sama atas tegaknya hukum dan keadilan di negeri ini dapat menjadi subyek praperadilan . Semacam citizen law suit (gugatan oleh rakyat) sebagaimana dalam kasus uji materiil Undang Undang tentang Penyiaran, Ketenagalistrikan, Migas, dan Sumber daya Air pada Mahkamah Konstitusi (MK) beberapa waktu yang lalu.
Pemahaman demikian sebagai legal experiment menjadi penting dan perlu, tatkala pihak-pihak yang secara formal berhak mengajukan tuntutan hukum, tetapi yang bersangkutan tidak mau mempergunakan hak tersebut sebagaimana mestinya lebih karena pertimbangan membela kepentingan korps (spirit de corps) atau ewuh pakewuh.
Pemohon tentu menaruh harapan besar, sang hakim yang memeriksa gugatan praperadilan memiliki pemahaman yang sama atas interpretasi progresif tersebut, sehingga pemeriksaan praperadilan bisa dilanjutkan. Namun demikian, bisa saja hakim berpendapat lain, pemahanan baru tersebut telah keluar dari teks yang dimaksud pasal 80 KUHAP. Sehingga – tidak mustahil - permohonan praperadilan (akan) dinyatakan tidak dapat diterima (niet onvantkelijk verklaard).

Obyek Gugatan Praperadilan
Patut diketahui , praperadilan adalah wewenang Pengadilan Negeri untuk memeriksa, mengadili dan memutus tentang sah atau tidaknya penangkapan dan /atau penahanan, sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penuntutan, dan permintaan ganti-rugi atau rehabilitasi (pasal 1 butir 10 KUHAP).
Sesuai dengan wewenangan praperadilan di atas , memberikan informasi kepada kita bahwa dengan diterbitkannya SKPP kasus Bibit dan Chandra, berarti obyek gugatan praperadilan yang hendak diajukan para pemohon- komunitas advokat dan LSM - adalah tidak sahnya SKPP yang telah diterbitkan oleh Kejaksaan , karena dianggap tidak sesuai ketentuan hukum.
Sebagaimana dilansir media ini ( Jawa Pos , 1 Januari 2009), alasan yuridis diterbitkan SKPP kasus Bibit dan Chandra adalah perbuatan Bibit dan Chandra dianggap wajar karena merupakan bagian tugas dan kewenangannya serta pernah dilakukan oleh pendahulu mereka (pimpinan KPK periode sebelumnya). Sudah tepatkah alasan tersebut ?
Alasan penghentian penuntutan menurut hukum ada tiga hal yaitu tidak terdapat cukup bukti, peristiwa tersebut bukan merupakan tindak pidana, atau perkara ditutup demi hukum (vide : pasal 140 ayat 2 huruf a KUHAP).
Kalau alasan penerbitan SKPP, perbuatan Bibit dan Chandra dianggap wajar karena masih merupakan bagian dari tugas dan kewenangannya. Dus, berarti perbuatan tersebut bukan merupakan tindak pidana. Maka, dengan demikian alasan yang dipakai oleh kejaksaan untuk menghentikan penuntutan adalah peristiwa tersebut bukan merupakan perbuatan pidana.
Menurut hemat saya, alasan tersebut memang kurang atau tidak tepat. Secara faktual dari hasil identifikasi-verifikasi fakta dan data dari Tim 8, perkara tersebut lebih tepat diberhentikan penuntutannya karena alasan tidak terdapat cukup bukti. Walaupun bukan tanpa resiko. Karena alasan demikian, terbuka kemungkinan untuk dibuka kembali, jika terdapat bukti baru yang menguatkan dugaaan perbuatan pidana tersebut. Tetapi alasan demikian lebih realistis dan faktual.
Sesungguhnya, esensi debat sengit dan seru antara pemohon dan termohon dalam sidang pemeriksaaan praperadilan , apakah benar perbuatan Bibit dan Chandra - yang pada awalnya oleh penyidik polri dianggap sebagai penyalahgunaan wewenang - sekarang oleh jaksa dianggap perbuatan tersebut wajar, karena masih dalam konteks tugas dan kewenangannya ? Tentu, menjadi tugas yang berat bagi jaksa (termohon) untuk menjelaskan argumentasi atau nalar hakumnya. Kenapa bisa terjadi pergeseran makna tersebut?
Sebaliknya, pemohon juga harus dapat mendalilkan dan membuktikan, pergeseran makna tersebut syarat dengan motif dan kepentingan yang tidak lagi murni yuridis. Oleh karena itu harus ditolak dan dikesampingkan. Mengapa ? Sebab tidak memiliki sandaran hukum (legal basis) yang kuat dan meyakinkan.
Secara teoritis, jika gugatan sebuah gugatan praperadilan ingin dikabulkan oleh hakim. Maka dipersyaratkan antara posita (dasar gugatan) dan petitum (apa yang dituntut) harus relevan dan saling berkaitan satu sama lain, di samping harus didukung oleh buki-bukti dan fakta yang kuat dan otentik.
Andai benar, gugatan pemohon dikabulkan , maka hakim praperadilan dalam putusannya akan menetapkan: penghentian penuntutan Bibit dan Chandra melalui SKPP tidak sah dan penuntutan terhadap terdakwa wajib dilanjutkan. Bagaimana implikasi hukumnya ?

Implikasi Hukum
Setidak-tidanya terdapat dua implikasi hukum bila putusan praperadilan menetapkan SKPP atas perkara Bibit- Chandra tidak sah. Pertama , penuntutan perkara Bibit dan Chandra harus dilanjutkan. Yang berarti perkara Bibit dan Chandra dibuka kembali dan diperiksa dalam sidang pengadilan. Kedua, Kepres tentang pengaktifan kembali Bibit dan Chandra menjadi pimpinan KPK mengikat secara yuridis. Tetapi hanya terbatas sampai ditetapkan kembali Bibit dan Chandra sebagai terdakwa. Nah, secara empiris menjadi tidak efektif atau berharga. Pasalnya, sesaat setelah ditetapkan menjadi terdakwa, Bibit dan Chandra secara hukum harus berhenti sementara (non-aktif) dari pimpinan KPK.
Memang, melanjutkan pemeriksaan kembali perkara Bibit dan Chandra melalui forum pengadilan sesungguhnya akan lebih memberikan kepastian atas salah atau tidaknya (guilty or not guilty) perbuatan yang dituduhkan kepadanya. Akan tetapi , kita tahu bahwa kondisi yang demikian di samping tidak sesuai dengan arahan pidato Presiden SBY untuk tidak membawa perkara tersebut ke pengadilan, juga secara sosiologik boleh jadi akan memicu dan memancing konflik politik baru yang berkepanjangan . Semoga ini hanya mimpi buruk di siang bolong.

*Penulis adalah Dosen, Praktisi Hukum & Penulis Buku ; “Praperadilan Dalam Perspektif HAM”, email : hufronsby@yahoo.com., HP : 081-2352-9300., Fax : 031-5025926,




Tidak ada komentar:

Posting Komentar